Louve "Serigala Betina"

Pebriyatna Atmadja
Chapter #7

Mariah

"Aku harus menelepon polisi!" Pikirku begitu saja setelah membaca pesan tertulis di kertas ini.

"Sam mungkin dalam bahaya." Aku kembali bergumam sendiri.

Aku mengambil ponsel di saku, membuka pola kuncinya dan segera menekan ikon telepon, tanganku gemetar, layarnya terswipe begitu saja tanpa sengaja ke log panggilan keluar.

Aku melihat nama kontak 'Mariah' di urutan paling atas. Ternyata aku membuka ponsel Sam yang sedari tadi aku bawa di saku.

"Mariah? Apa ini wanita itu?" Aku bertanya sendiri.

Aku kembali teringat kejadian di dekat menara Eiffel.

"Orang tuamu meninggal bukan karena kecelakaan Kanina! Mereka dibunuh!" Kalimat yang terlontar dari mulut wanita itu terlintas di pikiranku saat ini.

"Wanita itu, apakah dia adalah Mariah? wanita yang mengaku sebagai bibiku dan menjegatku di pusat kota kala itu?"

"Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?" Aku terduduk lemas dibalik pintu ini, entah apa maksud ini semua, mimpi buruk apa yang sedang aku alami.

Aku menangis dan meremas kertas pesan ditanganku ini. 'Mariah' aku kembali melihat ponsel Sam, ini berarti Sam benar-benar menyembunyikan sesuatu. Tapi kenapa? ada apa? aku hanya bisa berputar-putar saja dalam pikiranku.

Aku menyentuh nama Mariah, teleponku tersambung.

Aku harus siap apapun yang terjadi, pikirku ketika sambungan telepon dimulai.

"Sam? apa kau berubah pikiran? kau akan bawa Kanina kesini?" Suara wanita di balik sambungan telepon mulai terdengar.

"Dimana Sam?" Aku balik bertanya begitu saja.

"Kau... " Wanita itu terdengar kaget.

"Kanina?" Wanita itu kembali bertanya

"Siapa kau sebenernya Mariah? Dimana kakakku?" aku menekan suaraku kesal.

"Kanina, dimana kakakmu?" Suara wanita itu terdengar tidak tenang.

"Aku yang seharusnya bertanya! Kau kontak terakhir yang dia hubungi dan sekarang dia tidak ada dirumah!" Aku berteriak tidak dapat membendung emosiku.

"Kanina, sungguh aku tidak tahu dimana kakakmu, Kanina aku harus kesana, kau harus izinkan aku kesana, sesuatu pasti sudah terjadi kepada Sam." Wanita itu memohon.

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" aku menjawabnya dengan balik bertanya.

"Bagaimana kau bisa percaya kakakmu jika ia tidak pernah memberitahumu kebenaran?" Ia malah balik bertanya kepadaku.

"Kau... " Aku menarik nafas dalam-dalam.

"Kanina, izinkan aku ke rumahmu." Wanita itu memohon

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" Aku kembali bertanya hal yang sama.

"Teleponlah polisi!" ia menjawab singkat.

**************

20 menit kemudian bel berbunyi, aku menarik nafas dalam-dalam sambil melihat ke arah pintu. Aku bangkit dari sofa dan membuka pintu.

Aku melihat sosok wanita di hadapanku, aku berpikir sejenak, benar, wanita ini adalah wanita yang sama yang aku lihat di dekat Eiffel kala itu, aku masih mengingat wajahnya.

"Kanina, apakah kau akan mengizinkan ku masuk?" Wanita itu mulai bersuara.

Aku terdiam karena bingung dan berpikir apakah wanita ini orang jahat, jika dia berniat jahat dia tidak akan meminta izin untuk masuk kerumahku.

"Kanina... " Wanita itu memanggil, menyadarkan aku dari lamunan.

"Kenapa Sam menelponmu?" Aku mulai bertanya

"Bisakah kita bicara di dalam?" wanita itu memohon kemudian melihat ke sekitar.

"Kanina izinkan aku masuk." Ia kembali memohon.

Entah kenapa wajah wanita itu tiba-tiba saja menjadi pucat, ekspresinya seperti seseorang yang merasakan sakit.

Hidungnya mengeluarkan darah, ia mulai mimisan.

"Kau kenapa?" Aku bertanya heran.

Ia menarik nafas dengan sangat cepat, kali ini darah keluar dari rambutnya, mulai membasahi keningnya. Ekspresinya benar-benar menahan sakit.

"Ya Tuhan, masuklah!" Aku mengajak wanita itu ke dalam kala melihat darah mulai membasahi wajahnya.

Wanita itu lekas menerobos masuk kala aku mengizinkannya, ia langsung duduk di sofa sementara aku mengambilkan tisu untuknya.

Ia mulai membersihkan darah di hidung dan keningnya.

"Astaga, kenapa lama sekali mengizinkan aku masuk!" Ia mulai menarik nafas teratur, bersandar pada sofa dan menengadah ke langit-langit sambil terus menekan hidungnya dengan tisu.

"Kau tidak apa-apa?" aku mulai bertanya.

"Kau akan membuat aku mati berdiri jika tetap membiarkanku menunggu di depan pintu." Wanita itu menjawabku kesal, ia mulai menyamankan posisi duduknya.

"Sejak kapan kakakmu tidak bisa dihubungi?" Ia mulai menatapku dan bertanya.

"Sekitar pukul enam sore saat aku di perjalanan pulang." Aku menjawabnya.

Lihat selengkapnya