"Pasien masih bernafas,"
"Bagaimana detak jantungnya?"
"Masih terdeteksi namun tidak beraturan,"
"Ada trauma di kepala bagian depan,"
"Tidak ada pendarahan serius."
Aku masih bisa mendengar suara-suara bersahutan namun pandanganku buram, aku seperti ditarik sangat cepat oleh sebuah kereta dorong. Antara hidup dan mati. Entahlah. Apa aku sedang menuju kematian?
*******
"Tut... tut... tut... " entah suara mesin apa yang membuatku tersadar.
Cahaya putih perlahan menembus penglihatanku.
Aku menarik nafasku sendiri, seakan bangun dari tidur yang sangat panjang.
Aku berhasil membuka mataku. Di hadapanku terdapat sebuah pintu dan semua dindingnya adalah kaca. Aku bisa melihat di luar terdapat beberapa bangsal dengan orang-orang yang berbaring di atasnya mengenakan selang yang ditusukan dimana-mana, monitor dan berbagai alat yang tidak aku ketahui ada di sisi tiap bangsal tersebut.
Seseorang dengan baju medis hijau tua, dengan hidung dan mulut tertutup masker yang juga mengenakan penutup kepala baru saja melewati ruanganku dan berhenti tepat di depannya, melihat menembus lewat dinding kaca. Dia kemudian membuka pintu dan masuk ke dalam.
"Syukurlah."
"Pasien di dalam ruang isolasi 1 sudah sadar!" dia memanggil seseorang dari balik pintu, aku bisa mendengar suaranya dengan jelas.
Dia menuju ke ranjangku dan mengecek selang infus, aku baru sadar kalau aku memakai selang infus dan selang oksigen. Kemudian suara yang membangunkan ku tadi, adalah mesin di sisi ranjangku. Aku sepenuhnya baru menyadari aku sedang terbaring di rumah sakit.
"Nona Kanina sudah sadar?" Seorang pria berpakaian sama dengan wanita perawat tadi baru saja masuk ke kamar ini.
"Nona, apakah kau bisa mendengar suaraku?" pria itu mengajak ku berbicara.
"Ya... " aku menjawabnya dengan berat seakan ini kali pertama aku bisa berbicara.
"Syukurlah, nona, tolong lihat jari tanganku, berapakah ini?" pria itu lagi-lagi bertanya sambil menunjukan dua jari di hadapan wajahku.
"Dua." Aku kembali menjawabnya.
"Nona, izinkan saya mengecek pupil mata dan detak jantung anda." Pria itu kemudian membuka mataku dengan jarinya, mengarahkan senter kecil dan memperhatikan mataku sesaat. Kemudian dia meletakan stetoskop di dadaku dan juga mengeceknya untuk beberapa saat.
"Suster, tolong cek tekanan darahnya." Ia menyuruh wanita perawat yang sudah sedari tadi di sampingku.
"Seratus dua puluh per sembilan puluh." Perawat itu menjawabnya.
"Nona siapakah nama anda?" wanita itu gantian bertanya.
"Aku... Kanina, Kanina Watts." Aku menjawabnya dengan terbata-bata.
"Nona Kanina sudah benar-benar sadar, tolong pantau tekanan darah, detak jantung dan suhu tubuhnya sampai dua jam kedepan dan berikan laporan berkala." Pria itu memberikan perintah kepada wanita tadi.
"Baik Dok." Perawat itu menjawabnya.
"Nona Kanina, perkenalkan saya Dokter Henderson, saya adalah dokter jaga yang bertugas di ruang ICU Rumah Sakit Saint-Marie. Anda masuk ICU dua hari lalu dikarenakan detak jantung anda tidak stabil dan anda dalam kondisi tidak sadarkan diri." Pria itu memberikan penjelasan.
"Ini adalah suster Claire, dia sudah mengontrol dan mendampingi anda sejak anda pertama masuk ICU." Pria itu melanjutkan.
"Kondisi anda saat ini mulai stabil, suster Claire akan mengecek berkala, jika sampai dua jam kedepan kondisi anda semakin membaik maka kami akan memindahkan anda ke kamar rawat inap, apakah anda merasakan sakit dibagian tertentu?" dokter itu kembali melanjutkan.
"Kepala saya terasa berat." Aku menjawabnya.
"Anda mengalami trauma di bagian kepala namun tidak terjadi pendarahan serius, kami sudah menjahit luka sobek di kening anda kurang lebih selebar empat sentimeter, oleh karena itu kami membalut kepala anda dengan perban, ada bagian lain yang terasa sakit?"
"Tidak ada, Dok."
"Baiklah, beberapa efek samping obat yang sudah diberikan mungkin menimbulkan rasa kantuk terlebih sudah satu hari penuh anda tidak sadarkan diri, membuat tubuh anda lemas, namun melihat kondisi anda saat ini, anda sudah boleh makan dan minum." Ia melanjutkan.
"Bagaimana dengan kaki dan tangan anda? bisa coba anda gerakan?" ia bertanya kembali.
Aku menurut dan mengangkat tanganku, suster membantu sedikit, kemudian aku menggerakkan kaki-kakiku, semuanya terasa normal.
"Semua terasa biasa." aku menjawabnya.
"Baiklah, jika ada keluhan di beberapa bagian tubuh anda, beritahu saya atau suster Claire." ia melanjutkan.
"Saya akan kembali memerikan pasien lain, saya permisi." Dokter itu pamit meninggalkanku dan suster Claire.
"Terima kasih, dok." Aku menjawabnya.
Aku menatap suster Claire yang masih mencatat pada kertas di papan dada yang ia bawa.
"Nona, apakah posisi ranjang anda perlu dinaikkan?" ia mulai bertanya.
"Boleh tolong dinaikkan sedikit."
"Baiklah," ia mulai memutar tuas di bawah ranjang.
"Sudah cukup nyaman?" ia bertanya.
"Ya, cukup... terima kasih."
"Saya akan keluar membuat laporan sebentar, kemudian saya akan menghubungi bagian dapur untuk membawakan anda makanan. Namun sepertinya akan agak lama mengingat baru satu jam lagi masuk waktu makan siang. Sementara ada roti dan susu di meja sebelah kanan anda, tadi pagi sudah ada petugas yang membawakan sarapan mungkin anda bisa memakan itu sementara ini." Ia menjelaskan.
"Tidak apa-apa, terima kasih." aku menjawabnya.
Suster Claire kemudian pergi meninggalkan ruanganku.
Kepalaku terasa pening, aku kembali teringat kecelakaan itu. Bagaimana keadaan bibi Mariah saat ini. Mungkin dia dirawat di ruangan lain. Aku berharap dia baik-baik saja. Aku akan bertanya pada suster Claire jika kembali nanti.
Dokter bilang aku sudah tidak sadarkan diri selama dua hari maka itu berarti waktu kami untuk menyelamatkan Sam hanya tinggal satu hari lagi.
Kepalaku terasa semakin sakit jika berpikir seperti itu, aku kembali memejamkan mataku. Menarik nafasku dalam-dalam.
"Nona Kanina, nona makanan anda sudah datang."
Suster Claire membangunkanku, ternyata aku kembali tertidur untuk beberapa saat.
"Oh, terima kasih." Aku agak mengangkat badanku sedikit sambil bersandar.