Louve "Serigala Betina"

Pebriyatna Atmadja
Chapter #10

Zaria et Nicholas

"Kau kan pemilik butik itu... Z for Mode!" Aku menyadari duluan siapa wanita ini.

"O là là! Ya! Kau yang datang berbelanja banyak waktu itu!" Dia menimpali.

"Perkenalkan aku Kanina." Aku menjulurkan tanganku ke arahnya.

"Aku Zaria dan ini Nicholas." Wanita itu membalas jabat tanganku kemudian aku beralih menjabat tangan pria di sebelahnya.

"Aku Nicholas." Balas pria itu.

"Aku masih menyimpan kartu diskon darimu." Aku berusaha tetap terhubung dengan mereka.

"Kau bisa gunakan itu jika berkunjung ke tokoku lagi." Zaria membalasnya

"Ya tentu saja tapi entahlah aku harus berkelana entah kapan bisa kembali ke Paris." Jawabku spontan saja dengan air wajah menjadi murung.

"Kau mau ke Normandia juga kan? ke kota mana?" Nicholas bertanya.

"Apakah kalian tahu Fôret d'Eu?" Aku menyambut pertanyaan itu dengan antusias berharap mendapatkan informasi dari mereka.

"Itu hutan di wilayah Normandia, berada di kota Eu, hutan yang cukup luas." Zaria memberikanku petunjuk.

"Ma belle, bukankah itu tempat dimana aku akan mencari tahu perihal manusia serigala?" Nicholas menimpali Zaria.

"Ya betul, disana memang asal legenda para manusia serigala dan penyihir." Zaria menjawab pacarnya.

"Oh, kalian akan kesana juga?" Aku merasa bersyukur jika bisa bergabung dengan mereka setidaknya sampai hutan kemudian aku akan mencari sendiri Samuel.

"Ya benar, kami akan singgah sebentar di Fôret d'Eu untuk mencari beberapa informasi kemudian kembali ke Envermeu, kampung halamanku." Jawab Zaria.

"Maaf bolehkah aku ikut sampai hutannya? setelah itu aku akan berpisah untuk menyelesaikan tujuanku." Aku meminta izin canggung kepada orang-orang yang baru aku kenal.

Zaria dan Nicholas saling bertatapan.

"Begini, aku juga tertarik prihal manusia serigala, itu kenapa tadi aku bertanya setelah mendengar percakapan kalian. Aku butuh tempat untuk menyelesaikan tulisanku." Aku mulai mengarang cerita.

"Sebetulnya tidak masalah, ini juga kebetulan sekali. Kau menulis apa?" Nicholas bertanya penasaran.

"Aku... aku sedang menulis novel. Aku amatir namun sangat tertarik untuk menulis pada sumbernya langsung. Novel ini akan berkisah prihal sejarah perang dunia kedua dan manusia serigala. Kalian tahu, fiksi yang menggabungkan fakta sejarah dengan hal gaib." Aku tidak percaya bisa mengarang cerita lagi demi menemukan hutan itu.

"Wow, itu sangat menarik!" Nicholas menanggapi dengan serius.

"Tentu tidak masalah Kanina, kita satu tempat tujuan. Akan menyenangkan juga daripada aku harus menemani pria ini sendiri, dia pasti akan sibuk dengan kamera dan laptopnya nanti." Zaria menyetujui.

"Syukurlah, merci beaucoup!" Aku sangat lega mempunyai teman yang satu tujuan.

Nicholas menyeringai ke arah Zaria.

"Keretanya sudah jalan." Nicholas menyadarkan kami.

TGV yang kami naiki mulai menyusuri relnya meninggalkan kota Paris. Aku merasa sedikit lega tidak ada kejaran polisi atau apapun itu. Semoga saja aku bisa sampai di Normandia tanpa halangan lagi.

"Kanina, kenapa dengan kepalamu?" Zaria melihat perban di kepalaku.

Aku baru sadar perban ini masih menempel. Dokter Henderson bilang ada luka jahit sepanjang empat sentimeter.

"Oh, ini... aku terjatuh di tangga kemarin malam, aku terburu-buru mencari kucingku yang hilang. Ada sedikit luka robek makanya aku ke klinik dan mereka menjahitnya." Aku benar-benar merasa sudah menjadi pembohong sejati.

"Ya ampun, kau ini harus berhati-hati. Kucingmu berhasil ditemukan?" Zaria menimpaliku.

"Belum, aku sudah memasang pengumuman hilang di sekitar rumah semoga saja ada yang menghubungiku." aku berusaha memaksakan tersenyum.

"Semoga saja dia lekas ketemu dan berada di tangan yang tepat sementara ini." Zaria membalas senyumku.

"Ya, aku berdoa untuk kucingmu." Nicholas ikut menimpali.

Pasangan ini sangat serasi, aku masih ingat mengagumi gaya Zaria ketika berbelanja saat itu, terlebih parasnya juga cantik. Gaya nyentriknya cocok dengan Nicholas yang terlihat santai dan supel, mereka terkesan saling melengkapi. Aku tidak menyangka akan mendapatkan teman seperjalanan setelah hari-hariku yang berat belakangan ini. Entah mengapa aku merasakan mereka adalah orang-orang baik.

Aku memutuskan untuk tidur sepanjang perjalanan, kepalaku masih terasa agak sakit.

*******

"Krit... krit... " kereta berhenti secara tiba-tiba. Aku terbangun dan melihat jam ditanganku. Sudah sekitar satu jam perjalanan.

"Ada apa ini?" Aku mendengar Zaria bertanya-tanya dan melihat sekeliling.

"Sepertinya keretanya mengalami gangguan." Jawab Nicholas.

Beberapa orang di dalam gerbong bangkit dan melihat ke sekitar.

"Tumben kereta cepat seperti TGV macet." Seseorang nyeletuk dari arah depan.

Aku melongok ke arah jendela. Pemandangan di luar hanyalah ladang gandum seluas mata memandang. Belum ada pemberitahuan dari masinis ataupun petugas kenapa kereta ini tiba-tiba berhenti.

Baru aku ingin duduk, ekor mataku menangkap seseorang berdiri di kejauhan, tepat di tengah ladang gandum. Aku mencoba memperhatikan dengan seksama. Benar saja, ada seseorang berdiri dengan jubah hitam. Jubah itu menutupi seluruh kepala dan badannya. Sosok itu, persis seperti yang aku lihat di samping Jo, di dalam kereta kala kami pulang dari Le Havre.

Kepalaku tiba-tiba saja sakit. Aku memegang perbannya dan berusaha untuk kembali duduk.

"Ah... sakit sekali." Aku tidak sengaja bergumam sendiri.

"Kanina, kepalamu?" Nicholas yang duduk di gang tiba-tiba melihat ke arahku.

"Kanina, perbanmu mengeluarkan darah!" Kini gantian Zaria yang memperhatikanku, sepertinya mereka mendengar gumamanku tadi.

"Apa?" Aku bertanya sambil memegang perbannya. Terasa basah, aku melihat jariku sendiri, ada noda tipis merah darah.

"Apa kau butuh bantuan medis?" Zaria menawarkan.

"Sepertinya jahitannya lepas." Aku menjawabnya sambil memejamkan mata

"Sebaiknya aku coba cari kru kereta, seharusnya mereka punya peralatan P3K." Aku kembali membuka mata dan melihat Nicholas bangkit dari kursinya menuju gerbong petugas.

Zaria lekas menuju ke kursiku dan duduk di sebelahku.

"Apakah sakit?" Ia bertanya khawatir melihat aku yang duduk lemas.

"Sedikit sakit, entah kenapa aku lemas sekali." Aku menjawabnya.

"Sebentar aku ambilkan kau minum." Dia kembali ke kursinya, membuka ransel dan memberikan aku sebotol air mineral.

"Ini minumlah!"

"Terima kasih." Aku meneguk air mineral itu.

"Apa ada obat yang dokter berikan?" ia bertanya kembali.

"Tidak ada, hanya diperban saja." Aku menjawabnya singkat.

Zaria mencoba menenangkan dengan mengelus punggungku.

"Zaria... maaf, bisakah kau lihat keluar jendela? Aku sepertinya melihat seseorang di luar sana."

"Di luar? Sebentar... " Ia bangkit dan melongok ke arah jendela.

"Tidak ada siapa-siapa Kanina, hanya hamparan ladang gandum." Ia menjelaskan.

Lihat selengkapnya