2015
Sore yang tidak bersahabat, mendung mengepul sejak siang tadi. Angin berbondong-bondong datang, pohon-pohon dipinggir jalan terhuyung-huyung akibat hembusannya yang kencang. Langit bergemuruh, ramai oleh suara halilintar. Sesekali spektrum cahaya putih muncul, terbersit sekilas di mata. Derasnya hujan langsung saja membasahkuyupkan bumi Ronggolawe Tuban.
Aku duduk meringkuk di bangku pinggir jalan milik seorang ibu penjual gorengan di kawasan manunggal utara. Tempat ini hampir mirip seperti halte. Setiap hari selalu didatangi para mahasiswa dan orang umum yang berkeinginan sama, mendapatkan angkutan umum jurusan Tuban- Paciran. Seperti halnya aku sore ini yang berkeinginan untuk cepat pulang. Tidak tahan rasanya bersentuhan langsung dengan hawa dingin yang begitu luar biasa menurutku. Apalagi separuh dari kerudung dan bajuku sudah basah akibat gerimis sekeluarku dari kampus menuju tempat ini. kedua tangan kusilangkan di depan dada dan kudekapkan ke tubuh erat-erat. Jaket biru tua milik Dio, kekasihku, yang kukenakan sedikit membantu.
Sebenarnya Dio menawariku mengantarkan pulang seperti biasanya. Tapi aku melarang karena cuaca hari ini lebih ekstrim dari biasanya. Aku kasihan karena jarak rumah kami yang sangat berjauhan dan tidak satu arah, butuh waktu setengah jam bagi Dio untuk mengantarkanku pulang dari kampus, tapi dia akan menghabiskan waktu hingga satu jam untuk perjalanan pulang dari rumahku ke rumahnya. Dio memang cowok yang sangat bertanggung jawab, dia selalu tidak tega kalau harus melihatku berdesakan di angkutan umum dengan para penumpang lain. Ia lebih rela berjam-jam di jalanan hanya untuk mengantarkanku pulang selamat sampai depan rumah. Itulah mengapa aku begitu mencintainya.
Hampir setengah jam berlalu, tak satupun angkutan umum yang lewat. Kalaupun ada itu angkutan yang sudah sangat sesak penumpang. Aku jadi menyesal menolak tawaran Dio, tapi hujan sore ini begitu deras, kami bisa basah kuyup dibuatnya. Sementara ibu, sudah tiga kali ini mengirim SMS kepadaku.
Gimana Aira, sudah dapat angkutannya apa belum? Ibu khawatir, sebentar lagi sudah maghrib.
Begitulah Ibu, mudah khawatir dan cemas jika aku, ayah atau adik-adikku terlambat pulang.
Belum bu, mungkin sebentar lagi. Ibu gausah khawatir, aku sama temen-temen yang dari Blimbing juga kok, enggak sendirian.
Balasku kemudian agar ibu tidak terlalu khawatir, ya meskipun aku harus berbohong. Tak hanya ibu, Dio juga ikut mencemaskanku.
Sayang kamu sudah dapat angkutan belum? Aku sudah sampai rumah, basah kuyup.
Belum, aku masih nunggu angkutannya, tapi gapapa kok aku banyak temen ceweknya. Gausah khawatir.
Lama menunggu membuat mataku pelan-pelan terasa berat, lelah mengawasi hilir mudik kendaraan yang berlalu-lalang. Lelah pula menunggu, sesekali menguap. Membosankan sekali berada di tempat ini dengan orang-orang yang sama sekali tak kukenal. Tiga pemuda tanggung yang sedari tadi tak henti-hentinya mengotak-atik handphone masing-masing. Entah bermain game atau justru sibuk mengabari keluarganya di rumah, aku tak tahu. Tiga orang lagi perempuan, mahasiswi seuniversitas denganku namun tidak satu jurusan. Mungkin juga kakak tingkat atau entahlah, aku tak mengenali mereka secara pasti. Yang jelas, mereka kelihatan lebih tua dari usiaku yang hampir genap 21 tahun. Kusimpulkan dari gurat wajah dan postur tubuh mereka yang menunjukkan usia lebih matang.
Kami semua saling diam, mengisi kesunyian, menyibukkan diri dengan gerak-gerik masing-masing. Saling canggung dan tak berusaha mengakrab satu sama lain. Tak terasa adzan maghrib berkumandang, hujan pun mulai reda dan angkutan umum yang sejak tadi kami tungu-tunggu akhirnya muncul juga. Aku lega. Segera kukirim pesan itu untuk ibuku, agar beliau lebih sedikit tenang.
Setengah jam lagi aku sampai, Bu. Barusan sudah dapat angkot.
***
Aku menghempaskan tubuhku ke kasur, melepas lelah. Seharian ini aku berkutat dengan hujan. Ya, tadi pagi saat aku akan berangkat kerja di SMP swasta tempat sekolahku dulu, berangkatnya pun terkena guyuran hujan juga tadi saat pulang kuliah, hujan malah lebih deras mengguyur rata hampir seluruh kawasan pantura. Dingin sekali rasanya, hingga aku sejak tadi tak berhenti bersin-bersin.
Tiba-tiba Ibu masuk ke kamarku sambil membawakan segelas teh hangat. Aku tersenyum dan berterimakasih padanya.