“Gimana? Bara baik kan?” Tanya Ayah tampak memancingku saat kami berdua tengah menonton TV di ruang keluarga.
Aku hanya mengangguk, tak begitu menanggapi. Aku pura-pura lebih fokus pada tayangan sinetron kesukaanku sambil memakan cemilan buatan Ibu.
“Ayah rasa, dia sangat cocok sama kamu.” Ucap Ayah lagi yang kali ini membuat aku tersedak dan terbatuk-batuk. Untung saja ada segelas es didekatku.
“Kalau makan itu hati-hati.” Ayah malah mengomel tanpa merasa bersalah padahal aku tersedak gara-gara perkataannya.
“Yah, aku tidak suka dengan Bara.” Ucapku lirih.
“Wajar, kan baru pertama kali bertemu. Lama-lama juga akan suka sendiri. Cinta itu tumbuh karena terbiasa.” Ayah masih tetap bersikukuh.
“Dan aku terbiasa dengan Dio yah, makanya aku lebih mencintainya.” Bantahku dengan nada yang masih sopan karena aku takut Ayah akan langsung naik pitam.
“Ayah gak suka sama Dio. Ayah itu sakit-sakitan ra. Ayah mau kamu secepatnya menikah, dan itu bukan sama Dio.”
Suara Ayah tampak meninggi, membuatku takut dan tak berani berkata apa-apa lagi. Aku menggigit bibir agar air mataku tidak keluar. Ayah bisa lebih marah lagi jika aku menangis di depannya. Ayah memang begitu, tidak suka sekali jika aku menangis di depannya, haram bagiku untuk melakukan satu hal itu, beliau ingin mendidikku menjadi perempuan yang kuat dan tangguh agar aku suatu saat nanti bisa menghadapi kehidupan yang terkadang bisa terasa lebih pahit dari apa yang diperkirakan. Suasana jadi sedikit hening hanya suara televisi saja yang masih terdengar. Sementara Ibu tidak berani nimbrung dan masih menyibukkan diri di dapur untuk menghangatkan hidangan makan malam kami.
“Selama ini Ayah selalu bisa menuruti apa yang kamu mau, entah itu cepat atau lambat. Makanya Ayah lebih memilih Bara untukmu. Ayah gamau kamu hidup susah. Ayah ingin kamu bahagia.” Jelas Ayah lirih yang justru malah membuatku ingin semakin menangis, tapi lagi-lagi aku harus berusaha menahan tangisku.
Ayah memang sangat sayang terhadapku, dan memang benar Ayah selalu berusaha menuruti permintaanku, apapun itu selagi masih dalam jalur yang benar dan membuatku bahagia, entah itu cepat atau lambat. Tapi sepertinya Ayah tidak akan mau menuruti permintaanku kali ini, yaitu tetap bersatu dengan Dio. Mungkin itu satu hal yang akan sulit beliau lakukan karena aku hafal betul perangai Ayah, beliu bukan tipe orang yang plin-plan. Tegas dan sangat teguh terhadap pendiriannya.
“Iya Yah, akan aku pikirkan lagi baik-baik.Terimakasih Yah, aku ke kamar dulu ya.” Pamitku. Aku pun kemudian masuk kamar dan menangis sejadi-jadinya.
***