Lovadira

Rita Rohmawati
Chapter #3

TERTEKAN

Masalah perjodohan kemarin membuatku benar-benar sakit kepala hingga pagi ini aku sama sekali tidak fokus kerja, sedari tadi aku hanya memandangi beberapa hasil wawancara anak didikku tanpa bisa kubenahi sedikitpun. Pikiranku benar-benar kacau. Padahal aku harus secepatnya mengirimkannya ke pihak penerbit. Ya, selain menjadi pustakawan. Aku juga dipercaya oleh kepala sekolah untuk menjadi pembina dan penanggung jawab majalah sekolah, sama seperti Adrian.

“Kamu kenapa sih ra? Gak fokus banget.” Tegur Adrian yang sedari tadi mengawasiku dari meja kerjanya.

Adrian sepertinya menyadari sikapku yang tak seperti biasanya, ceria dan selalu antusias menyelesaikan pekerjaan yang berhubungan dengan majalah. Berbeda sekali dengan hari ini yang malah kebanyakan diam dan melamun.

“Gapapa kok.” Jawabku sambil berpura-pura mengedit hasil wawancara di laptopku.

“Sudahlah, jujur saja.” Bantahnya.

Adrian yang sedari tadi duduk di depan komputer, tampak berdiri dan berjalan menghampiri meja kerjaku. Dia memang susah sekali dibohongi. Instingnya terlalu kuat padaku. Sementara aku masih diam dan mencoba mengalihkan pandanganku ke arah lain.

“Aira, kamu ada masalah apa?” Tanyanya lagi, sepertinya ia mulai khawatir karena melihatku yang tampak menggigit bibir dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Adrian, aku akan dijodohin.” Akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulutku, yang seketika membuat Adrian dan juga Aga yang sedang duduk di depan komputer, terbelalak kaget mendengar pernyataanku.

“Kamu serius?” Kali ini Aga yang buka suara, tak percaya.

“Memangnya kalian pikir aku bercanda?” Jawabku kesal.

Mereka berdua pun diam, saling berpandangan. Sementara aku sudah tak tahan lagi membendung air mataku yang sedari tadi memberontak ingin jatuh.

“Aira, sudahlah jangan menangis. Gak enak nanti kalau ada murid-murid yang lihat.” Kata Adrian mengingatkanku.

Adrian benar, bagaimana jika ada murid yang tiba-tiba ingin berkunjung ke perpustakaan dan melihatku sedang menangis? Aku pasti akan malu, maka cepat-cepat kuhapus air mataku dan mencoba mengontrol diriku agar lebih tenang. Bagaimanapun sekarang adalah jam kerja, tidak seharusnya aku seperti ini, gumamku dalam hati.

“Aku yakin kalau Dio itu jodohmu, Allah pasti akan menyatukan kalian dengan kuasanya.” Adrian kembali menenangkanku.

“Iya ra, Adrian benar, jadi berdoa saja kepada-Nya, minta yang terbaik.” Kata Aga.

Kali ini aku jadi terharu kepada mereka. Adrian dan Aga memang sahabat terbaikku, mereka selalu ada disaat suka dan dukaku. Aku jadi sangat beruntung memiliki sahabat seperti mereka. Padahal aku menjalin keakraban dengan mereka belum terlalu lama. Saat itu, dua tahun yang lalu kami sama-sama sebagai karyawan baru dan usia kami pun seumuran, paling muda diantara guru-guru dan karyawan lain karena memang mereka semua adalah bapak dan ibu guru kami dulu, mungkin dari situlah kami jadi mudah akrab dan terjalin persahabatan hingga kini.

“Thanks ya kalian.” Ucapku berterimakasih karena sudah membuat hatiku lebih tenang.

“Iya, yasudah kamu lanjutin gih ngeditnya, nanti malah gak selesai.” Kata Adrian sambil menepuk puncak kepalaku pelan dan berlalu kembali ke meja komputernya. Adrian memang lebih perhatian kepadaku ketimbang Aga.

Lihat selengkapnya