“Tapi semua ini untuk kebaikan dia, Rahma.”
Suara Ayah mulai meninggi, membuatku yang menguping pembicaraan mereka dari kamar jadi gemetaran, takut ayah dan ibu bertengkar gara-gara aku.
“Aku tahu Mas, tapi bagaimana kalau nanti dia justru menderita dalam pernikahannya? Pernikahan itu sekali seumur hidup Mas, aku takut Aira justru akan tertekan.” Bela Ibu.
“Memangnya dulu kita menikah karena saling cinta? Aku bahkan sama sekali tidak mengenalmu. Buktinya kita bahagia dan bertahan sampai saat ini.” Bantah Ayah.
Ibu terdiam, dan suasana berubah sunyi. Entah kenapa aku jadi ingin sekali keluar dan meluruskan semuanya. Aku tidak mau perjodohan ini berlanjut karena akan ada hati yang sangat terluka jika itu sampai terjadi. Aku harus bisa membuat ayah merestui hubunganku dengan Dio, tekadku.
“Yah, aku mohon jangan lanjutkan perjodohan ini.” ucapku sembari bersujud di kaki ayah.
“Apa-apaan kamu, bangun.” Bentak Ayah.
Aku tak mengindahkan bentakan ayah, aku tetap memegang kaki ayah sembari terus memohon. Ayah yang dikendalikan emosi, menendangkan kakinya kuat hingga tanganku terlepas. Aku pun tersungkur. Dadaku langsung bergemuruh, ingin rasanya aku menangis seraya menjerit sekencang mungkin tapi rasanya tidak mungkin melakukan hal itu di depan ayah.
“Mas, aku mohon! Turuti saja keinginan Aira, kasihan dia Mas.” Lagi-lagi ibu mencoba membelaku.
“Sekali tidak tetap tidak.” Ujar Ayah bersikukuh.
Beliau kemudian menghambur masuk ke kamarnya. Seketika pertahananku jebol, air mataku berderai membanjiri pipiku yang tembam. Aku menangis dalam dekapan ibu.
“Bu, terimakasih sudah membelaku. Setidaknya aku tidak sendirian.” Isakku.
Ibu mengangguk sambil menenangkanku.
***
Tiga hari kemudian.
Pagi-pagi sekali Bara datang ke rumah, aku yang hendak berangkat kerja jadi kuurungkan terlebih dahulu, menghubungi kepala sekolah dan ijin masuk sedikit terlambat. Bara tidak datang sendiri, dia bersama Om Nanang dan Tante Amira. Membuatku begitu deg-degan.
Seperti biasa, Ayah dan Ibu menyambut mereka dengan begitu hangat. Aku pun begitu, pura-pura tersenyum ramah.
“Maaf Mas Hari, Mbak Rahma, Aira, ini Bara mau pamitan balik kerja ke luar negeri. Sekaligus memastikan bagaimana kepastian jawaban dari Aira tentang perjodohan ini.” Ujar Om Nanang membuka pembicaraan.
Seketika aku tercekat, kulirik ayah dan ibu yang duduk di dekatku, berubah menjadi gugup. Sehari sebelum Bara ke rumahku, ayah dan ibu sudah pasrah dengan segala keputusanku. Ibu membujuk ayah habis-habisan malam itu, hingga akhirnya ayah melunak dan memilih untuk mengalah karena bagaimanapun aku yang nantinya menjalani biduk rumah tangga itu.
“Sebelumnya, kami mohon maaf Dek Nanang. Sebenarnya saya dan Ibunya Aira sangat setuju jika Aira berjodoh dengan Bara, tapi bagaimanapun Aira yang akan menjalaninya, jadi saya serahkan semuanya pada Aira.” jawab Ayah merasa tak enak hati.
Suasana berubah menegang, kini semua mata tertuju padaku, aku jadi semakin gugup dan deg-degan. Aku menunduk karena mulutku tiba-tiba seakan terkunci rapat-rapat.
“Kalau Aira yang jawab, saya sudah tahu jawabannya Om. Aira tidak akan bisa meninggalkan kekasihnya. Kekasihmu sangat beruntung Aira. Saya hanya berharap kita semua bisa menjaga silaturahim ini, bukan begitu Om Hari?”
Ayah hanya manggut-manggut sambil tersenyum kepada Bara. Sementara aku semakin membeku dan hanya bisa tersenyum kaku kepada mereka.
“Sekarang semuanya sudah jelas dan yang terpenting Nak Bara sudah ikhlas dengan keputusan Aira. Semoga perjalananmu menyenangkan dan selamat sampai tujuan ya Nak Bara.” Pungkas Ibu.