***
29 Oktober 2017
Aku tak berhenti mengucap syukur pada-Nya karena usaha Lovadira kami semakin hari justru semakin hari semakin berkembang. Orderan datang dari Sabang sampai Merauke, juga sampai ke luar negeri tepatnya di negara Thailad dan Taiwan. Mungkin semua ini berkat kegigihan Dio yang telaten belajar menekuni ilmu digital marketting, hingga orderan datang dari arah mana saja setiap harinya.
Dio kemudian berencana membuka toko fisik di Tuban Kota, alasannya agar dia tidak di rumah saja saat aku pergi mengajar. Ya, setelah lulus kuliah, aku semakin dipercaya kepala sekolah untuk memegang hampir semua ekskul penting di sekolah itu dan juga menaikkan jabatanku menjadi guru Bahasa Indonesia, cita-citaku sejak kecil. Tentunya hal itu membuat ayah begitu bangga terhadapku.
Aku pun setuju saja dengan ide Dio, toh juga omset semakin hari semakin meningkat. Insya Allah hasil laba bersihnya setiap bulan serta ditambah gajiku cukup untuk menyewa toko serta mengisi dalamannya seperti gantungan dan contoh-contoh kaos yang sudah disablon. Pada tahun 2017 itu juga kami sudah menemukan partner untuk diajak kerjasama mengembangkan bisnis ini. Lovadira yang dulu kaosnya mengambil dari hasil dropship di toko online Surabaya dan Jakarta, sekarang sudah produksi sendiri dengan label Lovadira yang menempel di setiap kaos dan jaket kami.
Akhirnya tepat pada tanggal 29 Oktober 2017 kami resmi membuka toko ofline milik kami sendiri, tapi di dalamnya hanya ada display pajangan kaos-kaos. Sementara prosesnya masih dikerjakan teman di toko offline miliknya.
Namun jarak satu bulan kami membuka toko yang sedang laris manisnya, ayah tiba-tiba jatuh sakit. Penyakit asam urat yang sudah lama beliau derita kambuh parah. Tentu hal itu membuat fokus kami terpecah. Hingga Dio harus bolak balik PP setiap hari pulang ke rumahku demi berjaga-jaga akan kondisi ayah yang setiap hari semakin memburuk.
Hingga pada suatu malam, kondisi kesehatan ayah semakin menurun, beliau pun tak berhenti menjerit kesakitan kakinya yang bengkak akibat pengapuran asam urat yang sudah sangat tinggi. Seluruh keluarga sudah berkumpul, ibu yang menemaninya di kamar menangis tersedu-sedu melihat suaminya yang terus menjerit kesakitan. Aku duduk disamping ayah sambil memegangi tangan beliau. Untuk pertama kalinya aku berani menangis di depan ayah, tak tega dengan keadaan beliau yang seperti itu.
“Aira, Ayah sudah tidak kuat.” Lirihnya.
Aku tak memperdulikannya, kupegangi tangan ayah dengan erat sambil kubacakan surat-surat pendek dan juga ayat kursi agar ayah diberikan ketenangan serta diredakan sakitnya. Tapi semua itu seakan tidak mempan. Lagi-lagi jika kaki bengkaknya itu bergetar, ayah menjerit kesakitan dengan sekeras mungkin. Hingga tak ada yang tega untuk menemani di sampingnya. Kedua adikku hanya bisa tertegun sedih di luar sambil komat-kamit mendoakannya. Hanya aku dan ibu yang ada di kamar menemani ayah yang terus kesakitan meskipun obat dari dokter sudah diminumnya.
“Bu, jaga ayah ya. Aku keluar sebentar.” Pamitku.