***
Hari ini tepat tiga bulan usia pernikahanku dengan Dio, namun masalah demi masalah kian bertambah banyak, mulai dari ayah jatuh sakit hingga Dio yang juga ikutan sakit. Aku mulai resah karena ibu mertuaku dan lainnya sudah kerap kali menanyakan aku yang belum juga hamil. Aku jadi berpikiran yang tidak-tidak, takut kalau aku tidak bisa hamil dan lainnya. Aku pun berinisiatif membeli testpack saat pulang mengajar kemarin, dan betapa kagetnya aku saat hendak mandi subuh-subuh iseng mengetes urine dan ternyata hasilnya positif dengan dua garis merah yang menghiasi benda kecil itu.
Seketika membuatku gemetar sekaligus tak percaya, akhirnya aku mengetes ulang dengan menggunakan testpack merk lain yang kubeli dengan harga yang lebih mahal. Namun ternyata hasilnya sama. Aku yang saat ini memegang dua testpack dengan hasil yang sama-sama positif hanya tersenyum haru dan tak berhenti mengucap rasa syukur kepada-Nya.
Aku pun kemudian keluar dari kamar mandi dan buru-buru memperlihatkan hasil testpack itu pada Dio yang sedang sholat subuh di kamar.
“Sayang, lihatlah kedua testpack ini. Aku hamil.” Ujarku senang sambil melonjak kegirangan dan memeluknya.
“Alhamdulillah.” Jawab Dio senang namun ekspresinya terlihat datar.
“Kamu tidak senang kalau aku hamil?” Tanyaku kesal.
“Bukan begitu Sayang, aku sangat senang, tapi aku juga sedih karena kamu hamil dalam keadaan aku sedang sakit. Kamu pasti akan sangat lelah, mengajar sambil mengurus bisnis kita. Sementara tempat mengajarmu juga sangat jauh dari tempat tinggal kita saat ini.” Ucapnya lirih.
“Sudahlah Dio, aku bisa kok. Lagipula harusnya kamu semangat sembuh karena kita akan punya anak yang selama ini kita inginkan.”
“Iya Sayang. Semoga aku cepat sembuh dan bisa menuruti apapun yang kamu mau nanti saat masa ngidam.”
Aku mengaminkan ucapan Dio kemudian memeluknya dengan erat.
***
“Aku hamil Yah, Bu, kalian akan punya cucu.” Ucapku bahagia.
“Benarkah Aira?” Tanya Ayah tidak percaya.
Aku mengangguk penuh keyakinan. Ayah langsung menitihkan air mata karena terharu, begitu pula Ibu. Mereka berdua sangat senang mendengar kabar atas kehamilan pertamaku. Ayah yang waktu itu sudah tidak bisa berjalan karena asam uratnya, mengambil tongkat yang ada di sampingnya dan kemudian berdiri dengan begitu semangat.
“Rahma, tolong pegang tongkat ini.” Titahnya.
“Untuk apa Yah?” Tanyaku heran.
“Iya Mas, nanti kamu jatuh.” Timpal Ibu.
“Rahma aku akan punya cucu, aku harus bisa berjalan agar bisa menggendong cucuku nanti.” Ungkapnya penuh semangat sambil mencoba tertatih-tatih menggerakkan kaki kanannya yang bengkak.
Entah kenapa aku sangat kasihan melihat ayah yang begitu memaksakan diri, hingga membuatku justru malah menangis dan memeluk ayah.
“Aku yakin Ayah pasti akan sembuh, tapi Ayah tidak perlu memaksakan diri. Semua itu butuh waktu Yah. Lagipula dia masih 9 bulan dalam kandunganku, itu artinya Ayah masih punya banyak kesempatan untuk sembuh dan belajar berjalan.”
“Iya Mas, Aira benar. Jangan terlalu memaksa.”
Ayah mengangguk dan kemudian mengambil tongkatnya.
“Aku hanya terlalu senang Rahma, betapa lucunya dia nanti. Semoga dia laki-laki.” Ujar Ayah sembari mengelus perutku yang masih rata.
Aku dan ibu hanya tersenyum dan mengaminkan harapan ayah.