Lovadira

Rita Rohmawati
Chapter #10

KELAHIRAN SAGA

***

“Gimana keadaan janin kamu Aira?” Tanya Ibu cemas.

Aku hanya diam dan duduk lesu di ruang tamu

“Alhamdulillah masih selamat Bu.” Sahut Dio kemudian.

“Syukurlah kalau begitu, tapi kenapa Aira bisa lemas begitu Dio?”

“Mungkin Aira masih kepikiran ayah, ia protes sepanjang jalan gara-gara dokter menyuruhnya untuk tidak memikirkan apapun.” Papar Dio.

Ibu tertawa kecil mendengar penjelasan Dio, beliau kemudian menghampiriku dan memelukku dengan erat. Aku kagum dengan ibu yang berusaha sangat tegar di depan kami bertiga, namun Ibu begitu rapuh saat sedang sendirian, aku memergoki ibu menangis hebat dalam sujudnya di sepertiga malam. Beliau begitu kehilangan sosok suami yang sangat baik dan tanggung jawab seperti ayah. 25 tahun hidup bersama tentu tidak mudah bagi ibu untuk melepas kepergian ayah begitu saja, apalagi ayah sangat menyayangi dan memanjakan ibu.

Aku saja yang anaknya sangat kehilangan beliau, apalagi ibu yang istrinya, teman hidup dalam suka dan dukanya. Tak terasa air mataku jatuh mengingat sosok ayah, membuat Dio langsung menegurku agar aku tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Dio seperti itu karena tidak mau kehilangan calon bayinya apalagi ini anak pertama kami. Aku tahu, Dio juga pasti sedih kehilangan ayah meskipun Dio pernah sangat dibenci ayah namun ayah berubah menjadi sangat sayang terhadap Dio saat kami sudah resmi menikah. Saat Dio sakit, ayah selalu khawatir dan menyarankan agar berobat ke dokter yang menurutnya terbaik, padahal ayah sendiri juga sakit. Beliau juga sangat mendukung bisnis online kami, bahkan beliau ingin kami sampai punya mesin sendiri dan bisa produksi mandiri, dan di akhir sisa-sisa hidupnya yang tak kusadari waktu itu, beliau selalu berpesan agar aku menjadi wanita yang kuat dan menjadi istri yang baik untuk Dio. Satu pesan yang terngiang di telingaku saat ini dan aku belum tahu apa maksud ayah adalah aku tidak boleh meninggalkan Dio dalam keadaan apapun.

Aku menghela nafas panjang, berusaha mengusir bayangan tentang ayah yang tentunya akan membuatku semakin terisak. Benar kata Dio, aku harus menurut apa kata dokter agar Saga selamat, calon cucu pertama ayah yang tak sempat beliau temui.

***

Hari terus berganti, tak terasa perutku semakin besar dan usahaku yang kian meroket sukses. Aku jadi semakin kualahan membagi waktu mengajar sekaligus menghandle bisnis Lovadira, membuatku sangat stress dan tertekan karena di usia kehamilanku yang semakin tua. Dio justru tidak kunjung membaik, terkadang malah kondisinya berubah semakin buruk. Puluhan dokter sudah kami kunjungi, hingga sampai pengobatan alternatif. Dokter A mengatakan Dio kelainan jantung, Dokter B yang sempat merontgennya mengatakan bahwa Dio bronchitis karena terlalu sering melakukan perjalanan jauh dengan motor, sedangkan Dokter C mengatakan Dio asam lambung. Beda dokter beda pula diagnosa penyakit yang dideritanya hingga membuat kami benar-benar bingung.

Akhirnya Dio pergi ke orang pintar atas saran Adrian, dan katanya Dio sakit karena ada orang yang iri dengan bisnis kami. Membuatku hanya bisa mengelus dada mendengarnya. Saat itu aku sudah tidak tinggal di Tuban kota karena ibu meminta kami untuk tinggal bersamanya, beliau tidak mau jauh dari anak-anaknya setelah kepergian ayah. Kami pun menurut saja.

Aku yang waktu itu sedang hamil tua dan masih ngidam tidak pernah bisa dituruti oleh Dio karena kondisinya yang lemah dan memprihatinkan. Akhirnya adikku Ardan dan sesekali gantian Aldi yang membelikan makanan ngidamku.

***

29 September 2018

Tak terasa usia kehamilanku sudah genap 10 bulan, aku jadi panik dan khawatir karena calon bayiku tak kunjung keluar. Akhirnya aku memaksa Dio untuk mengantarkanku ke Bidan Ira.

“Kalau sampai besok pagi bayinya tidak keluar juga, terpaksa harus dioperasi Mbak Aira.”

“Memangnya tidak ada cara lain Bu?” Tanyaku panik.

“Berdoa saja, semoga ada keajaiban nanti malam.

Aku hanya mengangguk lemah dan kemudian meminta Dio untu mengantarku pulang. Tiba-tiba saat sampai rumah, perutku sangat sakit dan sedikit-sedikit dibarengi mules, membuatku sangat deg-degan. Wajar, ini pertama kalinya aku akan melahirkan, hingga aku begitu takut dan berpikir macam-macam.

“Bismillah Allah beri kemudahan untukmu Aira.” Ibu mencoba menenangkanku.

Semakin malam perut ini semakin sakit, hingga kupinta Dio untuk mengantarkanku ke klinik Bidan Ira lagi, apalagi sorenya aku sudah mengeluarkan cairan yang kata Bu Bidan itu “Pakan Bayi”, yang artinya cepat atau lambat si bayi akan keluar. Aku jadi semakin deg-degan.

Lihat selengkapnya