Lovadira

Rita Rohmawati
Chapter #11

AWAL KEHANCURAN

2 Desember 2018

Dua bulan setelah kelahiran Saga, aku dan Dio memutuskan untuk pindah ke Kota Tuban, kota yang terkenal dengan julukan “Bumi Wali” tersebut karena terdapat Sunan Bonang yang merupakan Wali Songo.

Sebenarnya setelah Saga lahir, kami berdua sempat tinggal di rumah ibu selama satu bulan, setelahnya keluarga Dio meminta kami pindah kesana karena untuk acara selamatan Saga dan lainnya. Tapi selama satu bulan di rumah Dio, aku merasa tidak bisa adaptasi dengan tinggal banyak orang dalam satu rumah dengan karakter yang berbeda-beda. Aku tidak terbiasa, apalagi aku termasuk orang yang sangat sensitif. Setiap omongan mereka selalu membuat hatiku sakit dan kecewa. Apalagi aku tidak bisa menyusui karena suatu hal, sehingga banyak sekali yang menggunjingku di belakang. Entah itu keluarga atau tetangga. Aku yang mungkin waktu itu terkena syndrome “Baby blues” jadi semakin sensitif dan sering menangis. Aku sangat tertekan dengan keadaan itu. Akhirnya dengan sisa tabungan yang kami miliki, Dio mengajakku menyewa rumah di jantung Kota Tuban, tepatnya di daerah Kebonsari.

Rumah yang kami sewa sangatlah luas, bersih dan nyaman. Kebetulan rumah itu baru dibangun sekitar enam bulan yang lalu dan memang sengaja dikontrakkan oleh pemlik rumah. Dio memang sangat mengerti keinginanku, dia tidak menyewakan rumah yang ala kadarnya, namun rumah yang luar biasa bagus menurutku jika dibandingkan dengan rumahku sendiri. Halamannya sangat luas, dilengkapi satu ruang tamu dan satu ruang keluarga, juga dua kamar tidur yang sangat luas dan satu kamar mandi dan dapur. Di belakang rumah juga terdapat tanah kosong untuk tempat menjemur. Pemilik rumah juga sangat ramah, dan hari ini tepat pada tanggal 2 Desember 2018, Dio memboyongku dan Saga ke rumah itu, dia juga telah membelikan beberapa perlengkapan rumah yang serba baru. Aku jadi sangat terharu, Dio memberikan segala hal yang ku mau. Ini seperti sebuah kado terindah untukku.

Rumah kontrakan kami yang luas itu tentu saja kami manfaatkan untuk rumah produksi bisnis kami. Ruang tamu kami sulap menjadi toko dan display pajangan kaos dan jaket yang sudah kami sablon. Di ruangan itu terdapat meja kerja yang dilengkapi laptop, print dan hal pendukung lainnya. Dindingnya kami hiasi dengan beberapa figura berisi testimoni pembeli dan juga produk kami yang terbaru.

Ya, setelah bertahun-tahun kami membangun bisnis sablon satuan yang kami beri nama LOVADIRA dengan sangat baik, kami sudah punya langganan beberapa konveksi jaket dan kaos di Surabaya, tapi kami juga masih bekerja sama dengan teman kami yang ada di Tuban, aku memanfaatkannya dengan membuat desain kaos beberapa warna dan dijahit di galery miliknya. Seluruh orderan sablon juga masih dikerjakan oleh teman kami karena aku dan Dio belum punya mesin sendiri, namun kalau ada orderan jaket dengan segala jenisnya aku dan Dio memilih bekerja sama dengan beberapa konveksi Surabaya karena jahitannya lebih rapi dan bahan jaketnya sangat bagus.

2019

Semakin hari orderan kami semakin banyak, hingga pada tahun 2019 tepatnya awal bulan ramadhan, kami sudah bisa membeli mesin sablon lengkap. Tentu saja aku dan Dio sangat bangga dan bersyukur, meskipun yang namanya usaha tidak lepas dari hutang di bank, namun setidaknya impian terbesarku dan juga Ayah waktu itu terwujud. Aku dan Dio hanya ingin membuat bisnis “Lovadira” semakin besar dan berkembang.

Namun, tak kusadari dari sinilah awal kehancuran kami dan bisnis yang sudah kami besarkan selama bertahun-tahun. Ya, entah kenapa aku merasa sejak aku dan Dio berhasil melengkapi toko kami dengan mesin dan lainnya, orderan setiap hari semakin berkurang. Sementara jumlah pengeluaran kami setiap bulan sangat banyak seperti biaya produksi dan membayar kewajiban perbulan di bank. Aku jadi semakin khawatir.

“Orderan semakin hari semakin sepi, kita tidak bisa terus menerus seperti ini Dio.”

Keluhku pada Dio saat melihat hasil laporan penjualan yang semakin memburuk, aku menopang daguku dan mendengus kesal mengamati laptopku di meja kerja.

Dio yang sedari tadi serius bediri di depan mesin hot press menunggu proses press kaos itu pun akhirnya menyaut, “terus menurutmu kita harus gimana?”

“Ya kamu cari kerja lah buat nambah pemasukan, sambil nanti buat mengisi kekurangan biaya produksi. Untuk saat ini kita tidak bisa menjadikan bisnis ini sebagai satu-satunya sumber penghasilan Dio.”

Dio menghentikan aktivitasnya, ia mematikan mesin hot press dan berjalan menghampiriku yang duduk di meja kerja dengan wajah yang sangat kesal.

“Terus siapa yang mengerjakan sablon kalau aku kerja, memangnya kamu bisa menghandle semua ini sendirian? Belum nanti mengurus Saga.” Jawabnya emosi.

Mulutku semakin manyun, mendengar jawaban Dio yang sangat menyebalkan.

“Kalau seperti ini terus, kita bisa bangkrut Dio, dan tentu saja hutang akan semakin banyak. Aku tidak mau itu terjadi.” Bentakku.

Aku menggebrak meja pelan, kemudian memilih meninggalkan Dio yang masih mematung di ruangan depan yang kami sulap sebagai toko kecil-kecilan tersebut. Dio kemudian membuntutiku ke kamar.

“Terus aku kerja apa Aira? Aku lebih suka usaha sendiri daripada harus kerja ikut orang lain.” Balasnya dengan suara yang ikut membentak.

“Ya kamu cari lah, kalau sudah jadi suami dan ayah itu tidak bisa memilih suka atau tidak Dio, semua harus kamu lakukan demi menafkahi keluarga. Lihat ayahku atau ayahmu, mereka bekerja siang malam tak kenal lelah, padahal pekerjaan mereka jauh lebih berat daripada kamu.”

Aku semakin naik pitam, entah kenapa sejak orderan semakin sepi aku jadi sering uring-uringan pada Dio. Apalagi aku sudah tidak bekerja lagi, Dio menyuruhku resign saat sebulan sebelum menjelang persalinanku. Sebenarnya aku sangat berat hati meninggalkan pekerjaan yang sudah kutekuni selama lima tahun tersebut, tapi bagaimanapun aku sekarang adalah seorang istri yang harus nurut kepada perintah suami. Terlebih lagi tidak ada yang menjaga Saga, ibu harus bekerja untuk menyambung hidup sepeninggal ayah.

“Enggak Aira, aku yakin bisnis kita akan secepatnya membaik. Kita hanya kurang gencar promosi saja dan menawarkan produk baru.” Balas Dio tetap bersikukuh.

Lihat selengkapnya