Gadis berambut cokelat itu membuka matanya perlahan. Samar-samar terlihat ruangan serba putih menyelimuti seluruh pandangannya. Bau obat juga mulai tercium. Hembusan napas panjang dikeluarkannya dengan gusar. Ternyata aku gagal lagi, untuk yang kesekian kalinya...
Terbayang kembali sosok terakhir yang memenuhi ruang penglihatannya sebelum ia pingsan. Lelaki bermata hitam legam. Dekik di pipi kirinya terukir seiring mulutnya yang terbuka, mengeluarkan kalimat tanya. Tiba-tiba ia merasa benci kepada lelaki itu, karena telah menyelamatkannya.
Di lain sisi, William berbaring dalam resah di atas tempat tidurnya. Dibenaknya terus terngiang perkataan gadis yang diselamatkannya dalam kebakaran beberapa jam yang lalu. Gadis yang bermata cokelat cair dengan kulit sebening porselen.
Mengapa? Mengapa? Mengapa? batinnya terus mengulang-ulang kata gadis itu sebelum pingsan.
Mengapa dia berkata seperti itu? Mengapa tatapannya seperti tidak suka ketika aku menyelamatkannya? Mengapa dia mengucapkan kata yang membuatku gelisah begini? William menarik-narik rambutnya dengan kesal.
"Argh! Aku tak mau tahu lagi!" Akhirnya ia menarik selimutnya hingga menutupi kepala dan berusaha untuk terlelap.
***
Jam istirahat telah tiba. Para pasukan pemadam kebakaran berhamburan memasuki ruang istirahat. Tak terkecuali William. Lelaki berlesung pipi itu mendudukkan tubuhnya di atas sofa panjang yang terletak elok di sudut ruangan, berseberangan dengan loker-loker.
"Hei, Will! Mengapa matamu merah begitu? Apa kau tidak tidur?" tanya Ethan Dave, rekan satu tim William yang juga merupakan salah satu sahabatnya sejak SMA.
William hanya menatapnya sekilas, kemudian meraih selembar koran yang ada di atas meja.
"Kau masih memikirkan gadis itu, kan?" tanya lelaki itu lagi.
"Tidak! Untuk apa aku memikirkannya?" William menyangkal ucapan yang dilayangkan oleh lelaki yang tampan tapi usil tersebut. Memang, setelah memadamkan api di rumah gadis itu, William menyuarakan kegusarannya kepada rekan setimnya.
"Benarkah? Kalau begitu kenapa kau tidak sadar bahwa koran yang sedang kau baca itu terbalik?" Setelahnya dia terbahak tatkala William membalik korannya dengan wajah yang merah padam.
"Mengaku sajalah, William Harris!" Sisa tawanya masih lagi terdengar di telinga lelaki berambut hitam tersebut.
"Baiklah, baiklah! Aku memang masih memikirkan!" Ia melipat korannya dengan geram. "Tidak, lebih tepatnya ... perkataan terakhirnya sebelum pingsan. Bukankah seharusnya dia mengucapkan kata terimakasih atau syukurlah. Seperti itu ... tapi dia malah memilih kata 'mengapa'. Bukankah itu artinya dia memang tak ingin diselamatkan? Itulah yang kupikirkan!"
Ethan menggelengkan kepalanya perlahan. "Will ... terkadang terlalu penasaran juga tidak baik untuk seseorang. Awalnya kau hanya penasaran, lambat laun akan ada bunga yang bermekaran di hatimu."
"Hei! Ucapanmu itu terlalu jauh!"
"Dia dirawat di rumah sakit Blue Hope, kalau kau memang ingin menjenguknya," ujar Hunter , kapten mereka, yang tiba-tiba saja sudah berdiri di ambang pintu ruang istirahat.