Saat itu, para pasukan pemadam kebakaran sedang istirahat makan siang. Namun entah mengapa Cedric tidak merasa lapar. Ia memang jarang sekali menjamah makanan di siang hari, meski Hunter kerap memarahinya. Karena itu, untuk menghindari ocehan Hunter, ia memutuskan untuk menghabiskan waktu istirahatnya di taman yang terletak tak jauh dari kantor pemadam kebakaran.
Saat hendak membuka pintu gerbang, seorang gadis berambut pirang dengan poni lurus tersenyum riang menatapnya. Ia mengarahkan sebuah rantang tiga susun ke hadapan Cedric.
"Taraaa! Kau pasti tidak makan siang lagi, kan? Aku membawakan ini untukmu!" Mata bulan sabitnya mengembang seiring dengan senyummnya.
Cedric memasang wajah muak. Matanya tajam menatap gadis berwajah bak boneka itu. "Pergi! Sudah berulang kali kukatakan kepadamu, berhenti menggangguku! Kau umpama parasit yang terus-menerus menempel padaku. Kau tahu itu, kan?"
Gadis itu tidak tampak terkejut dengan ucapan pedas milik Cedric. Ia malah memasang senyum yang lebih manis lagi. "Setidaknya kau harus makan, Ced. Tidak baik membiarkan perutmu kosong begitu lama. Kau bisa jatuh sakit seperti tempoh hari." Lembut suaranya memujuk lelaki bermata hazel itu.
"Itu bukan urusanmu! Dan jangan panggil namaku! Aku tidak sudi!" Ia lantas beranjak meninggalkan gadis itu.
"Tunggu!" Gadis itu menarik bagian belakang seragam milik Cedric. "Kalaupun kau tidak sudi makan denganku, kumohon bawalah makanan ini ... aku tidak ingin melihatmu sakit lagi ...." Suaranya terdengar putus asa.
Cedric melirik sekilas ke arah jemari gadis yang masih memegangi seragamnya tersebut. "Lepaskan tanganmu atau kuadukan kau ke kantormu!" Wajah lelaki itu telah sepenuhnya merah padam.
Dengan rasa enggan, gadis itu melepaskan pegangannya dari seragam Cedric. Lelaki berhidung mancung tersebut langsung melangkah dengan lebar menjauhi gadis tinggi nan ramping itu.
Setelah Cedric pergi, wajah ceria gadis itu berubah mendung. Ia menghela napas panjang. Matanya terpaku pada punggung lelaki yang telah menjauh itu. Tanpa disadarinya, seorang lelaki berkulit pucat dengan rahang tegas berdiri di sampingnya.
"Seharusnya kau menyerah," ujarnya sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya juga menghala pada punggung Cedric yang kini telah menghilang.
Gadis itu tersentak kaget. "Capt! Kau mengagetkanku!"
"Berhentilah, Samara Brook. Kau tahu kalau hatinya begitu keras, kan?" ucapnya lagi.
Gadis yang dipanggil Samara itu menggeleng. "Tidak. Aku tidak akan menyerah. Kau tahu bahwa hatiku juga keras, kan? Kak Hunter?" Samara tersenyum manja kepada lelaki itu.
Hunter juga tersenyum. "Hei! Sudah kukatakan jangan panggil aku begitu saat aku sedang bekerja." Ia mencubit pipi Samara.
"Terserah! Kau itu kakak sepupuku. Masa' aku tidak boleh memanggilmu kakak? Sudahlah! Aku pergi dulu. Bye, Capt!" Gadis bermata bulan sabit itu melambai tanpa menoleh kemudian memasuki mobil dan mengendarainya.
****
"Luna Zachary! Aku datang!" Suara berisik itu mau tidak mau membuat Luna yang sedang duduk di atas kasur menutup buku yang sedang dibacanya. Dengan segera ia membukakan pintu untuk pemilik suara itu.
"Bagaimana keadaanmu? Kenapa kau tidak bilang kalau tempat tinggalmu kebakaran dan kau masuk rumah sakit? Betapa kagetnya aku ketika sampai di sana dan rusun itu sedang direnovasi! Apa aku ini sahabatmu?!" Gadis berambut pirang itu mengomel sembari bertolak pinggang setelah sebelumnya meletakkan rantang yang dibawanya di atas nakas. Ia yang baru saja pulang meliput acara penghargaan musik se Asia kaget begitu melihat rusun yang ditempati Luna terbakar sebagian.
"Maafkan aku, Samara. Yang penting kan, aku menjawab teleponmu." Setelah kebakaran ia memang langsung mengganti ponselnya yang turut hangus dengan memasang nomor yang serupa dengan nomor lamanya. Luna melirik ke arah rantang berwarna pastel di atas nakasnya itu. "Kau menemui pria itu lagi? Dia pasti menolakmu lagi, kan?" Bersahabat dengan Samara selama bertahun-tahun, tentu saja Luna mengetahui bahwa sahabatnya itu belum juga menyerah untuk memadamkan api amarah di hati lelaki yang disukainya itu.
"Diamlah. Jangan memperburuk suasana hatiku." Gadis pirang itu mengerucutkan bibirnya. Ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya lurus menatap langit-langit kamar yang berwarna biru cerah itu. Senada dengan warna dindingnya.