"Ibu ... Ibu ... jangan lakukan ini padaku, Bu ...." Luna menggumam dalam tidurnya. Keningnya berkeringat. "Ibu!" Gadis itu terbangun dari tidurnya dengan tiba-tiba.
Ia memegangi dadanya yang terasa sakit. Mengatur kembali napasnya yang terasa sesak. Ia segera mengambil obat penenangnya yang berada di atas nakas dan menelannya kemudian meneguk air dengan rakus. Airmatanya kembali bergenang. Mengenang kembali mimpi buruknya barusan.
Akhirnya, gadis itu menangis tersedu-sedu. Andai waktu dapat diputar kembali, tentu ia akan memilih untuk tidak jatuh cinta. Karena perasaannya itu, ia telah membuat ibunya mengambil keputusan untuk menggantung dirinya sendiri.
Obat penenangnya mulai bekerja. Luna sudah mulai merasa lebih tenang. Obat itulah peneman setianya selama lima tahun ini, yang telah membuatnya kembali pada kewarasannya setelah hampir gila mengenangkan sang ibu yang meregang nyawa tepat di hadapannya.
Luna bangun dari ranjang. Ia membuka jendela kamarnya dan duduk di sofa kecil yang terletak di hadapan jendela. Menatap gegap gempita bintang-bintang nan megah yang terhampar di langit malam.
Perlahan, ingatan masa lalu menjelma dimindanya tanpa dipinta. Membawanya kembali merengkuh kejadian masa lalu. Saat ia baru saja mengenal yang namanya cinta. Dengan lelaki bernama Steven White.
Luna dan Steven adalah teman sejak kecil. Mereka saling mengenal sejak usia mereka beranjak sepuluh tahun. Saat itu, Steven kecil sedang diganggu oleh beberapa kakak kelasnya ketika Luna melewati gang kecil di dekat gerbang sekolahnya.
Gadis itu menatap kesal kepada tiga anak lelaki berbadan besar, yang sepertinya duduk di kelas enam SD.
Heh! Beraninya keroyokan! Tak tahu malu! batin Luna kecil saat itu. Ia yang memang dikenal pemberani itu mengambil sebilah kayu yang berukuran sebesar lengannya dan mulai meluru ke anak-anak yang sedang mengganggu Steven.
Ketiga anak itu terkejut ketika Luna memukuli mereka dengan membabi buta.
"Pergi sana! Jangan ganggu dia!" Gadis itu menjerit dengan nyaring.
Karena takut jika ada orang dewasa datang, mereka bertiga segera melarikan diri. Meninggalkan Luna yang seolah kehabisan napas dan Steven yang sedang memandangi gadis itu dengan takjub.
Luna membantu anak lelaki itu untuk berdiri. "Kau tidak apa-apa?"
"Tidak. Terimakasih karena telah menolongku." Steven tersenyum manis.
"Sama-sama. Lain kali, kau harus melawan jika ada orang yang mengeroyokmu. Jangan diam saja! Kau akan terus ditindas jika kau lemah. Ingat itu!" Steven mengangguk semangat mendengar ujaran Luna.