Saat ini Luna sedang berada di sebuah rumah makan kecil yang ada di sebelah minimarket tempatnya bekerja. Shiftnya telah berakhir beberapa menit yang lalu. Samara duduk di depannya. Gadis itulah yang menyeret Luna untuk makan malam sebelum pulang.
"Bagaimana kabarmu beberapa hari ini?" tanya Samara. Akhir-akhir ini ia sedang sibuk meliput kampanye pemilu yang sedang berlangsung. Ia juga harus menulis berita dan mengirimkannya kepada atasannya untuk disetujui kemudian berita-berita itu akan di posting di laman web surat kabar tempatnya bekerja.
"Aku baik-baik saja," jawab Luna pelan.
Namun Samara menyadari bahwa mata gadis itu terlihat bengkak. Dengan segera ia meraih jemari Luna dan meremasnya. "Kau tidak sedang menyembunyikan sesuatu, kan?" Berteman lama dengan Luna, tentu saja Samara tahu semua hal yang terjadi kepada sahabatnya itu.
Luna tahu bahwa Samara tidak mempercayai ucapannya. "Jangan khawatir. Aku tidak akan lagi dengan sengaja mengakhiri hidupku. Aku kan sudah berjanji padamu."
Samara terdiam sejenak mendengar jawaban Luna. "Jangan bilang ... kau sengaja tidak berusaha keluar ketika kebakaran itu terjadi?" Hatinya merasa sesak. Luna hanya bilang tidak akan sengaja lagi mengakhiri hidup, dan kebakaran itu dijadikannya sebagai 'bantuan' untuk mati. Airmata mulai membanjir wajah Samara. Ia pindah ke kursi yang lebih dekat dengan Luna dan memeluk gadis itu.
"Luna .... kau menganggapku sebagai sahabatmu, kan?" Pertanyaan Samara membuat Luna terdiam. Gadis blonde itu masih memeluk Luna dengan erat.
Luna tersenyum pahit kemudian mengangguk. "Kau adalah satu-satunya sahabat yang aku punya."
Samara melepaskan pelukannya dan menggenggam kedua tangan milik Luna. "Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, ya? Aku akan selalu berada di sisimu. Walau aku menikah nanti, aku akan membangun rumah disamping rumahmu. Luna ... kau juga tahu kau berhak bahagia, kan? Semua yang terjadi bukan kesalahanmu!"
Luna juga ikut menangis ketika melihat airmata yang enggan beranjak dari wajah Samara. Ia mengangguk perlahan guna melegakan hati gadis itu. Walhal dalam hatinya, ia masih merasa bahwa semua yang terjadi dalam hidupnya adalah karena dirinya.
****
"Hei, Will! Sepertinya sudah seminggu ini kau tidak pernah menyebut nama Luna Zachary ... apa terjadi sesuatu? Kalian bertengkar?" Ethan seperti biasa, mendekati William yang saat itu sedang memakan rotinya sembari membaca surat kabar. Saat ini adalah waktu istirahat mereka.
William melirik lelaki itu dengan malas. Walau begitu, ia tetap menjawab soalan Ethan. "Aku membaca di internet, katanya aku tidak boleh terburu-buru ketika sedang melakukan pendekatan. Itu bisa membuat gadis yang kusukai merasa risih dan semakin tidak menyukaiku."
Ethan menganggukkan kepalanya. "Benar juga. Tapi ... bagaimana kalau dia semakin tidak menyukaimu kalau kau tidak pernah menunjukkan perhatianmu lagi? Bagaimana jika ada lelaki lain yang menghampirinya?"
Perkataan Ethan mau tidak mau mengganggu minda William. Karena ia merasa bahwa yang dikatakan lelaki itu benar juga. Tiba-tiba Hunter menghampiri mereka dan menoyor kepala Ethan yang duduk membelakanginya.
"Aw! Sakit tahu! Dasar lelaki tidak berperasaan!" Ethan mengaduh sambil mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit.
"Berhenti mengganggu William. Kenapa sejak sekolah kau selalu saja ingin ikut campur masalah orang lain?"