Cedric menatap tempat yang bernuansa putih dengan kabut yang menyelimuti sebagian besar tempat itu dengan penuh heran. Hatinya bertanya-tanya dimanakah keberadaanya sekarang.
"Cedric ...." Tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenalnya. Membuat lelaki dengan hidung yang tinggi itu menoleh dan mendapati kakaknya sedang berdiri dengan gaun putih panjang dan senyum yang mengembang kepadanya.
Cedric tersenyum gembira. Ia meluru ke arah kakaknya dan memeluknya erat.
"Aku rindu kakak," ujarnya sendu. Sang kakak hanya tersenyum sambil terus mengusap-usap rambut adiknya itu.
Kakak Cedric itu mengajaknya untuk duduk di sebuah kursi panjang yang juga berwarna putih yang terdapat di tempat itu.
"Kakak apa kabar? Apakah kakak baik-baik saja?" tanya Cedric sebaik saja mereka duduk.
Kakaknya tersenyum lagi. "Kakak baik-baik saja, Ced. Jangan khawatirkan kakak. Ada hal yang ingin kakak katakan kepadamu."
"Apa itu?"
"Kau harus menghentikannya, Ced. Dendammu. Gadis itu tidak sepenuhnya bersalah ... kau juga tahu itu. Bukankah pengemudi mobil itu telah meminta maaf padamu? Dia juga sudah menjalani hukumannya di penjara."
Ya. Cedric mengingatnya. Beberapa hari setelah pemakaman kakaknya, sang pengemudi mobil tersebut menyerahkan diri setelah sebelumnya berusaha untuk kabur. Pengemudi itu meminta maaf kepada Cedric karena mengemudikan mobilnya dalam keadaan mabuk saat mereka bertemu di kantor polisi.
"Jadi, itu bukan sepenuhnya salah Samara ... ia memang cuai karena menyebrang sambil bermain ponsel, tapi pengemudi itu lebih bersalah karena telah mengemudi dalam keadaan mabuk. Mereka berdua telah meminta maaf dan berusaha menebus kesalahan mereka, Ced."
"Meskipun mereka melakukannya, kakak tidak akan bisa hidup kembali!"
Kakaknya menggeleng melihat kekerasan hati adiknya itu, "Cedric ... hidup dan mati seseorang adalah kuasa Tuhan. Sudah kehendak-Nya Kakak mati saat itu. Tak dapat diganggu gugat." Lembut suara sang kakak, mencoba melunakkan hati Cedric.
Cedric bergeming dengan ujaran kakaknya itu.
"Berhentilah membencinya, Ced ... Samara telah berusaha untuk menebus kesalahannya selama ini. Tuhan saja Maha pemaaf. Jadi, mengapa kita sebagai manusia terlalu angkuh untuk memberikan maaf? Lagipula kakak tahu, sebenarnya kau mulai menyukai gadis itu, kan? Namun egomu lebih besar dari akal sehatmu hingga kau terus menerus menyakiti ketulusannya. Dengarkan kakak, Ced ... hiduplah dengan bahagia ... jangan hanya terpaku dalam gelimang masa lalu..."
****
Cedric tersentak dari tidurnya. Mimpi. Hal yang tadi dilihatnya ternyata hanya mimpi belaka. Namun terasa sungguh nyata. Mata Cedric bergenang. Kilasan-kilasan saat Samara bersamanya terus berputar dalam minda. Ia merasa sungguh buruk karena telah mengasari gadis itu selama ini.