Shawn duduk bersandar di area parkiran, dimana mobil-mobil berwarna merah menyala itu terparkir dengan gagah. Dari kejauhan, Hunter berjalan ke arahnya dan duduk menemaninya. Lelaki itu memang telah mendengar percakapan antara Shawn dan juga Axell. Ia juga tahu tentang Axell yang selalu mengirimkan seluruh gajinya kepada keluarganya. Ia juga beberapa kali telah menasehati Axell untuk menyimpan uang yang sedikit lebih banyak untuk dirinya sendiri. Namun tentu saja, Axell hanya mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
"Capt ... aku tidak habis pikir ... bagaimana bisa orangtua Axell tega kepadanya? Aku tahu aku terlalu ikut campur, tapi aku sangat kasihan kepadanya, Capt ... dia tidak pernah membeli apapun untuk dirinya sendiri. Bahkan sepatu yang ia pakai, itu adalah hadiah ulangtahun dari kita semua, tiga tahun yang lalu. Ibuku bahkan membesarkanku sendirian, bekerja keras siang dan malam.Tapi beliau tidak pernah mau menerima uang gajiku dan menyuruhku untuk menabungnya ... bagaimana bisa, orang sebaik Axell punya orangtua seperti itu?" Matanya masih berkaca-kaca.
Hunter merangkul bahu Shawn dan menepuk-nepuknya perlahan. "Aku tahu kau marah, Shawn. Tapi, kita tidak bisa apa-apa selain menasehatinya. Yang berhak memutuskan hanyalah Axell. Karena ini adalah masalah keluarganya dan dia juga tidak ingin jika kita ikut campur. Mari kita doakan, semoga masalah Axell dan keluarganya bisa segera terselesaikan." Hunter lantas berdiri. "Ayo masuk! Jam kerja akan segera dimulai. Jangan lupa, kau juga harus berbaikan dengan Axell." Ia sudah berjalan meninggalkan Shawn.
Shawn turut berdiri dan melangkahkan kaki menuju lapangan untuk latihan pagi. Ketika sedang melakukan peregangan, Axell muncul di sebelahnya. Shawn melihat sekilas ke arah Axell. Matanya nampak sembab. Apakah dia menangis? Tiba-tiba hatinya merasa bersalah.
"Maafkan aku, Axell. Tak seharusnya aku terlalu mencampuri urusan keluargamu." Lelaki itu berhenti melakukan peregangan dan mengulurkan tangan ke arah Axell.
Axell membalas uluran tangan Shawn. "Jangan minta maaf, Shawn. Aku tahu kau mengatakan itu karena aku adalah temanmu. Jangan khawatir. Aku akan menyisihkan uang sedikit lebih banyak untukku bulan depan." Ia kembali tersenyum.
***
Mobil-mobil pemadam kebakaran itu melaju dengan cepat setelah suara pemberitahuan menggema di tengah-tengah jam makan siang mereka. Sebuah toko swalayan berlantai dua ambruk dan membuat beberapa orang terjebak di dalam bangunan tersebut.
"Bagaimana bisa sebuah bangunan ambruk begitu saja?" Suara Ethan terdengar was-was. Dalam hatinya terus berdoa agar tak ada jiwa yang terkorban dalam musibah itu.
"Ketika toko swalayan itu dibangun, terdengar kabar bahwa bangunannya dibuat dengan bahan baku murahan. Mungkin itu yang membuat pondasinya tidak kuat dan ambruk." Hunter menjawab pertanyaan lelaki berwajah manis tersebut.
William menghembuskan napas panjang. "Kuharap mereka semua baik-baik saja."
Yang lainnya mengamini doa William dalam hati. Masing-masing berkutat pada kekhawatiran yang membelenggu minda. Tak berapa lama, mereka telah sampai di gedung yang sebagiannya telah hampir rata dengan tanah itu. Hunter dan pasukannya segera berlarian keluar dari mobil.
Hunter lantas menyuruh anggota timnya berpencar ke empat pintu masuk toko swalayan tersebut dan mulai mengevakuasi para korban. Setelah berpencar, satu demi satu korban telah ditemukan. Mereka kebanyakan mengalami luka yang cukup parah karena tertimpa reruntuhan.
Setelah hampir empat jam, akhirnya seluruh penjuru toko swalayan itu telah seluruhnya disisir. William beserta Cedric dan juga Ethan beranjak keluar setelah memeriksa tak ada lagi orang di dalam gedung bagian barat. Cedric dan Ethan berjalan di depan. Sementara William berada lima meter di belakang keduanya.
Tiba-tiba, terdengar bunyi berderak dari atap. Bagian atap yang jatuh itu kemudian hampir menimpa William. Lelaki itu mundur, tapi kakinya tersandung hingga membuatnya terjatuh dengan posisi tangan kanan menopang berat tubuhnya. Bagian atap itu jatuh tepat di depannya dengan bunyi yang kuat.
"William!" Cedric dan Ethan berteriak bersamaan dan bergegas menghampiri William.
William mengaduh. Ia merasa ada tulang yang bergemeretak dalam tubuhnya. "Aku baik-baik saja," ujarnya kepada kedua rekan timnya itu.
"Benarkah?" Ethan lantas menarik lengan William guna memapahnya. Namun lelaki berlesung pipi itu mengaduh kesakitan.