William masih mengambil cuti sakit karena lengannya masih terbalut gips. Rasa bosan telah menguasai dirinya karena harus dirumahkan selama beberapa minggu sampai gipsnya dilepas. Ayahnya telah memberikan ultimatum yang mengatakan bahwa beliau tidak akan mengizinkan William menjadi seorang pasukan pemadam kebakaran lagi jika lelaki itu tetap bekerja dengan lengan yang terluka.
Akhirnya, dengan terpaksa William menuruti perintah ayahnya. Namun, siapa sangka perintah sang ayah tersebut mampu membuatnya menyaksikan gadis yang disukainya itu berdiri di depan pintu apartmentnya.
Kehadiran gadis tinggi semampai berambut cokelat terang dengan suaranya yang lembut itu mampu membuat kupu-kupu bertebaran dalam perutnya.
"Karena kau sudah kemari ... bagaimana kalau kita makan bersama?" ajak William penuh harap.
"Aku tak mau! Aku mau pulang sekarang." Gadis itu melangkah laju, menjauh dari hadapan William.
"Apa kau tidak kasihan padaku? Tangan kananku retak dan aku kelaparan. Aku tak bisa memasak dengan tangan kiri." Ia berusaha agar terdengar kasihan.
Luna menghentikan langkahnya, membuang napas panjang, dan membalikkan tubuhnya. Menatap William dengan kesal dan mulai mendekati lelaki itu.
"Buka pintunya," ujarnya ketus.
William terperangah. Matanya berkedip-kedip tak percaya. Gadis ketus itu bersedia membantunya. Ia tersenyum bahagia dan dengan segera memasukkan password pintu apartmentnya, sebelum Luna berubah pikiran.
Gadis itu melangkah mengikuti William memasuki apartment yang ukurannya jauh lebih besar dari tempat tinggalnya, memiliki dua buah kamar besar dan ruang tamu yang menyambung dengan dapur. Serta sebuah kamar mandi yang berada di sisi kiri dapur. Dindingnya yang berwarna pastel membuat hatinya merasa nyaman berada di sana.
William meletakkan plastik yang dibawanya dari minimarket tadi. Luna terbelalak tatkala melihat isi plastik tersebut. Mi instan cup!
"Kau akan makan ini?"
William mengangguk. "Hari ini timku sangat sibuk karena ada gedung runtuh, jadi tak ada yang sempat membawakan makanan untukku. Ayahku juga belum pulang kerja. Aku juga sedang tidak ingin mengorder makanan. Jadi, mi instan cup adalah yang terbaik saat ini karena ianya praktis."
Luna menggeleng. "Bagaimana kau bisa cepat pulih jika hanya makan makanan seperti itu?" Ada kekhawatiran dalam suaranya. Ia mulai membuka isi kulkas milik William dan menemukan bahan-bahan untuk memasak lauk sederhana. Dalam diam ia mulai menanak nasi, memotong-motong sayuran, ayam, mengaduk telur dan menumis, sementara lelaki itu duduk sembari menopang dagu dengan tangan kirinya di meja makan. Senyum terus mengembang diwajahnya.
Setelah selesai, Luna menghidangkan makanan-makanan tersebut di atas meja makan. Ada nasi hangat, telur dadar, tumis sayuran, dan juga ayam kecap. "Makanlah."