Luna Zachary menatap langit dari jendela kamarnya yang terbuka. Itulah kebiasaannya saat ada sesuatu yang mengganggu mindanya. Ia mengembuskan napas panjang. Sejak tadi, nama William Harris terus meniti dihatinya.
Sejujurnya, hatinya tahu alasannya. Hanya saja, akal sehat terus menepis ujaran hatinya. Akal sehatnya bersikeras menentang keinginan hati yang mulai memberikan ruang untuk lelaki bernama William Harris.
Ia kembali mengembuskan napas berat. Dilema menghantuinya. Antara membuka hati untuk lelaki yang sudah enam bulan ini menyapa hatinya atau membuang jauh segala macam perasaan yang baru saja bertunas? Jujur, ia takut. Sangat takut jika suatu saat William juga akan meninggalkannya seperti Steven.
Luna menatap botol obat penenang di atas nakasnya. Ia menyadari bahwa beberapa hari ini ia tak pernah menyentuh botol itu. Karena semenjak perkataan William tempoh hari, ia sama sekali tak merasakan cemas yang berlebihan. Ia juga tak lagi meminum obat tidurnya. Hal rutin yang dilakukannya sejak kematian ibunya.
Luna lantas beranjak dari kursi, melangkah ke ranjang dan berbaring. Perlahan, ia mulai memejamkan mata. Mengusir segala persoalan yang membebani mindanya. Tak lama kemudian terdengar deru napas halus. Gadis itupun telah terlelap.
***
Pagi telah menjelma. Luna duduk bersarapan dengan lesu. Tangannya hanya menguis-nguis mie instan yang kini telah mengembang.
"Luna!" Dari balik pintu, terdengar suara milik Samara. Luna mengernyitkan dahi. Ini hari minggu. Dia sungguh tidak ingin ke mana-mana. Namun, ketukan di pintu semakin menggema. Dengan enggan Luna membuka pintu, sahabatnya itu terlihat rapi dengan kemeja biru muda dan celana berbahan kain berwarna hitam. Rambutnya dikuncir kuda.
"Luna ... hari ini kau libur, kan? Bagaimana kalau ikut denganku ke taman hiburan? Ayolah! Daripada kau terkurung terus di rumah, sesekali menghirup udara segar juga bagus untukmu!"
Awalnya Luna menolak ajakan Samara, namun gadis blonde itu terus membujuknya.
"Baiklah. Aku ikut." Akhirnya ia menyerah dengan kegigihan Samara. "Biarkan aku berganti baju dulu."
Gadis berambut cokelat terang itu keluar dari kamar beberapa menit kemudian. Ia mengenakan kaus berwarna ungu yang dimasukkan ke dalam celana jeans panjang berwarna hitam. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai.
"Kau sudah siap? Ayo kita bersenang-senang hari ini!" Samara menjerit dengan semangat.
Mereka bergerak ke taman hiburan mengendarai mobil perak kepunyaan Samara.
"Sudah lama ya, kita tidak pergi keluar seperti ini. Oh iya, Luna, kau masih ingat dengan Lucas?"
Luna mengangguk. Lucas adalah kenalan Samara yang merupakan seorang desainer. Bertahun-tahun yang lalu, Luna sering sekali menjadi model untuk pakaian yang didesain oleh Lucas. Namun sejak petaka itu terjadi dalam hidupnya, Luna berhenti dari pekerjaan itu dan memilih hidup yang terasing dari orang-orang.
"Lucas baru saja kembali dari Prancis. Dia ingin kau kembali menjadi modelnya." Samara melirik sekilas kearah sahabatnya yang duduk di sebelahnya itu. Sungguh, ia selalu ingin agar Luna hidup bahagia seperti dulu lagi. "Luna ... kurasa ini saat yang tepat untukmu kembali menjalani hidup dengan bahagia. Kau telah melewati banyak hal pedih dan menyakitkan. Aku tahu, menjadi seorang model adalah impianmu sejak remaja. Aku harap kau mau mempertimbangkan tawaran dari Lucas." Dengan penuh hati-hati Samara menguntai kata demi kata agar hati Luna tidak terluka.
Luna mengembuskan napas panjang. Ia sadar bahwa ia juga tidak bisa terus hidup seperti ini. Sudah saatnya ia belajar untuk menerima takdir. Mungkin jika ia mencoba untuk menerima segala yang terjadi kepadanya, Tuhan akan berbaik hati memberikan secercah bahagia untuknya. Bukankah segala sesuatu yang terjadi dalam hidup akan selalu memberikan hikmah?
"Baiklah. Aku akan melakukannya."
Mata Samara berbinar. "Sungguh? Kau sudah janji. Jangan tarik kembali perkataanmu, ya! Aku akan bilang pada Lucas nanti."
Luna hanya menganggukkan kepala. Senyum tipis terbit di wajahnya yang cantik.
***