Luna menatap dalam manik mata William. "Aku takut, William ... aku takut jika aku membuka hatiku untukmu, aku akan terluka lagi."
Lelaki itu mengusap lembut kedua belah pipi milik Luna. "Bukan hanya kau yang takut, aku juga takut. Ini adalah pertama kalinya aku jatuh cinta. Segala macam ketakutan terus membelenggu hatiku ... tapi, sampai kapan kita harus hidup dalam ketakutan? Sebelum memutuskan untuk mencintaimu, aku harus tahu konsekuensi bahwa mungkin saja aku akan terluka. Namun, selagi aku masih memiliki peluang untuk berbahagia, mengapa aku harus melepaskannya?"
Luna terdiam. Meresapi kata demi kata yang diucapkan oleh William. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengikuti suara hatinya kali ini. Bukankah ia juga berhak bahagia?
"Kalau begitu ... aku akan mencobanya. Peluang untuk bahagia. Bersamamu."
William membulatkan matanya. Senyum merekah dengan indah di wajahnya, menampilkan dekik di pipi kirinya. Ia kembali merengkuh tubuh Luna. "Terimakasih, Luna Zachary! Terimakasih karena memberikan kesempatan untukku."
Luna juga tersenyum. Ada perasaan lega yang menjalari sanubarinya. Lega karena akhirnya ia mampu berdamai dengan pahitnya masa lalu. Lega karena akhirnya ia bersedia mencipta kenangan di masa depan.
William melepaskan pelukan untuk yang kedua kali, ia berdiri ketika kereta air itu berhenti, kemudian mengulurkan jemarinya di hadapan Luna. Gadis itu tanpa ragu menyambut uluran tangan William. Perlahan, mereka melangkah dengan jemari yang saling bertaut.
Lelaki itu kerap mencuri pandang ke arah Luna dengan bibir yang tak lekang oleh senyuman.
"Mengapa kau memandangku begitu?" tanya Luna. Merasa gemas dengan tingkah laku William.
"Aku bahagia. Aku tak pernah menyangka bahwa menggenggam jemarimu seperti ini saja terasa begitu membahagiakan dan membuat jantungku berdebar-debar." Ia kembali tersenyum.
"Aku juga bahagia. Terimakasih, Will. Karena kau sudi menungguku selama setengah tahun ini."
William menghentikan langkahnya, kemudian menatap dalam kedua bola mata milik Luna yang juga turut berhenti dan memandangnya. "Enam bulan bukanlah waktu yang lama untukku, Luna. Aku pasti tidak akan kalah dari Samara yang sanggup menunggu Cedric selama tiga tahun."
"Ohhh... Apakah aku harus menarik kata-kataku dan membuatmu menunggu lebih lama?" godanya kepada William.
William sontak menggeleng. "Tidak! Jangan! Aku tak rela jika kau melakukan itu kepadaku."
Luna tertawa gemas, ia mencubit pipi William kemudian mengelusnya. "Aku juga tidak rela."
Setelah itu mereka kembali menaiki berbagai macam permainan yang berada di sana. Hingga tanpa terasa matahari telah menghilang dalam pekatnya malam, digantikan oleh benderangnya sinar rembulan dan juga bintang-bintang.
"Kurasa waktu berjalan lebih cepat jika aku sedang bersamamu," ujar lelaki itu dengan sedih.
Luna tersenyum manis, "Jangan khawatir. Kita bisa bertemu lagi besok."