Love & Gelato

Noura Publishing
Chapter #3

Bab 2

  SADIE DANES MUNGKIN SALAH SATU orang paling me-nyebalkan sedunia, tapi dia akan selalu menjadi sosok yang sangat berarti bagiku. Lagi pula, aku menemukan sahabat gara-gara dia.

Waktu itu awal kelas tujuh. Addie baru saja pindah ke Seattle dari Los Angeles, dan suatu hari, setelah kelas olahraga, dia tanpa sengaja mendengar Sadie berkomentar tentang beberapa teman sekelas kami yang sebenarnya tidak butuh bra. Yang memang benar—kami baru kelas tujuh; hanya sekitar satu persen dari kami yang benar-benar butuh bra. Namun, akulah yang paling tidak membutuhkan bra, dan semua orang tahu yang dia maksud adalah aku. Sementara aku hanya mengabaikannya (misal, dengan memasukkan kepalaku yang berusia dua belas tahun ke loker dan berusaha agar tidak menangis), Addie merasa perlu menjegal Sadie saat dia keluar dari ruang loker. Dia membelaku hari itu dan tidak pernah berhenti membela.

  “Pergi sana. Ini mungkin Lina.” Suara Addie terdengar ber-jarak, sepertinya dia sedang menjauhkan gagang telepon dari wajahnya.

“Halo?”

“Addie, ini aku.”

  “Lina! IAN, MENYINGKIR SANA!” Terdengar teriakan yang teredam, lalu pergulatan yang sepertinya terjadi antara dia dan saudara laki-lakinya. Addie punya tiga kakak laki-laki, dan bukan-nya memanjakan Addie, kelihatannya mereka justru sepakat untuk memperlakukan dia sebagai sesama laki-laki. Pantas saja kepribadian Addie seperti itu.

  “Maaf,” ujarnya. “Ian benar-benar bodoh. Ada yang mengambil ponselnya, dan sekarang orangtuaku bilang kami harus berbagi. Peduli amat. Aku tidak mau memberikan nomor teleponku kepada teman-temannya yang kasar.”

“Oh, ayolah, mereka tidak mungkin seburuk itu.” “Hentikan. Kau tahu mereka memang kasar. Pagi ini aku kebetulan melihat salah satu dari mereka makan sereal kami. Dia menuang seluruh isi kotak sereal ke mangkuk dan memakannya dengan sendok besar sup. Kurasa Ian bahkan tidak di rumah.”

  Aku tersenyum dan memejamkan mata sebentar. Seandainya Addie seorang pahlawan super, kekuatannya pastilah Kemampuan untuk Membuat Sahabatmu Merasa Normal. Minggu-minggu pertama yang menyedihkan setelah upacara pemakaman itu, dialah yang mengajakku ke luar rumah untuk berlari dan mendesakku melakukan hal-hal seperti makan dan mandi. Dia tipe teman yang kau tahu tidak mungkin layak kau dapatkan.

  “Tunggu. Kenapa kita buang-buang waktu bicara soal teman-teman Ian, sih? Aku kira kau sudah bertemu Howard.”

  Aku membuka mata. “Maksudmu ayahku?”

“Aku menolak menyebutnya begitu. Kita bahkan baru tahu dia ayahmu sekitar dua bulan lalu.”

 “Kurang dari itu,” kataku.

 “Lina, kau membuatku penasaran. Dia seperti apa?

  Aku melirik pintu kamar. Musik masih dimainkan di bawah, tapi aku tetap merendahkan suaraku. “Kita anggap saja aku harus keluar dari sini. Segera.”

“Maksudmu apa? Dia mengerikan, ya?”

 “Tidak. Dia sebenarnya baik. Dan sangat tinggi, itu menge-jutkan. Tapi bukan itu bagian buruknya.” Aku menarik napas dalam-dalam. Addie butuh efek dramatis. “Dia pengurus perma-kaman. Yang berarti aku harus tinggal di permakaman.”

“APA?”

 Aku siap mendengar luapan emosinya yang tiba-tiba, dan menjauhkan telepon beberapa senti dari telingaku.

 “Kau harus tinggal di permakaman? Dia semacam penggali kuburan, ya?” Dia membisikkan kalimat yang terakhir.

 “Rasanya mereka tidak lagi melakukan penguburan di sini. Semua makam berasal dari Perang Dunia II.”

 “Seolah itu lebih baik saja! Lina, kita harus mengeluarkanmu dari sana. Ini tidak adil. Pertama kau kehilangan ibumu, lalu kau harus pindah melintasi separuh bumi untuk tinggal dengan seorang pria yang tiba-tiba mengaku sebagai ayahmu? Dan dia tinggal di permakaman? Yang benar saja, itu sudah keterlaluan.”

 Aku duduk di meja, memutar kursi sampai punggungku membelakangi jendela. “Percayalah, kalau saja sempat terpikirkan olehku apa yang akan kuhadapi, aku pasti akan menolak lebih keras lagi. Tempat ini aneh. Ada batu nisan di mana-mana, dan rasanya kami benar-benar jauh dari peradaban. Aku melihat beberapa rumah di jalan menuju ke sini, tapi selain itu kelihatannya hanya ada hutan yang mengelilingi permakaman.”

  “Sudahlah. Aku akan datang menjemputmu. Berapa harga tiket pesawatnya? Lebih dari tiga ratus dolar? Karena hanya segitu yang kupunya setelah kita mengalami sedikit masalah dengan hydrant waktu itu.”

“Kau bahkan tidak menabraknya sekeras itu!”

  “Bilang saja pada mekanisnya. Ternyata seluruh bumpernya harus diganti. Dan aku sepenuhnya menyalahkanmu untuk itu. Kalau kau tidak berjoget, aku mungkin tidak akan ikut-ikutan.”

Aku tersenyum lebar, menarik kakiku untuk duduk bersila. “Itu sama sekali bukan kesalahanku kalau kau tidak bisa mengon-trol dirimu sendiri saat lagu lama Britney Spears diputar di radio. Tapi apa kau butuh bantuan untuk membayar tiketnya? Kakek-nenekku mengurus keuanganku, tapi aku menerima tunjangan bulanan.”

  “Tidak, tentu saja tidak. Kau akan butuh uangmu untuk pulang dari Italia. Dan aku benar-benar yakin orangtuaku akan setuju kau tinggal di sini lagi. Ibuku menganggap kau memberi pengaruh yang baik. Dia butuh waktu sekitar sebulan untuk melupakan kenyataan kalau kau menaruh piring-piringmu ke dalam mesin pencuci.”

 “Yah, aku memang cukup baik.”

 “Tentu saja. Baiklah, aku akan segera bicara kepada mereka. Aku hanya perlu menunggu sampai ibuku tenang. Dia mengurusi penggalangan dana football untuk Ian, dan kau akan mengira dia sedang menggelar pesta dansa perkenalan. Serius, ibuku terlalu berlebihan. Dia benar-benar marah semalam sewaktu tidak ada dari kami yang makan casserole mi-nya.”

 “Aku suka casserole mi buatannya. Yang dicampur tuna, ‘kan?” “Duh, kau tidak suka. Kau mungkin hanya kelaparan karena habis berlari jauh. Lagi pula, kau kan pemakan segala.” “Memang,” aku mengakui. “Tapi, Addie, ingat, yang perlu kita cemaskan adalah cara untuk meyakinkan nenekku. Dia sangat setuju aku tinggal di sini.”

Lihat selengkapnya