Langit pagi ini begitu cepat berubah warna menjadi kelabu. Padahal beberapa saat yang lalu, matahari masih terlihat gagah di ufuk timur. Udara di sekitar berembus dengan kecepatan meningkat, menerbangkan butir-butir debu dan beberapa daun kering ke segala arah.
Naya mempercepat langkah menuju warung makan untuk membeli bekal sebelum bekerja. Karena bangun terlambat, jangankan untuk sarapan, sekadar memasak saja Naya tidak sempat.
Di saat seperti ini, Naya merasa sedikit beruntung karena bekerja di tempat yang tidak jauh dari tempat kos sehingga tidak perlu merasakan kemacetan lalu lintas pada jam kerja, ataupun harus berdesakan di dalam kendaraan umum.
“Nay ... Naya ....”
Seseorang memanggil Naya dengan suara kencang. Perempuan itu segera mendongak, mengalihkan pandangan dari jalan aspal yang dilalui untuk mencari sumber suara.
Dari kejauhan, terlihat Laras sedang berjalan mendekat ke arah Naya. Perempuan berusia dua puluh tahun itu terlihat begitu bersemangat. Sorot matanya tampak berbinar menatap Naya dengan senyum riang, juga dengan gaya centilnya.
Naya melihat Laras pagi ini lebih cantik dari biasanya. Rambutnya yang lurus ditarik sebagian ke belakang, menonjolkan wajahnya yang oval.
Naya tersenyum ketika Laras telah sampai di hadapan. Melihat napasnya yang tersengal-sengal membuat Naya refleks menghentikan langkah dan menyorongkan air mineral yang baru saja dibeli ke arah Laras.
“Ada apa, Ras?” Naya bingung dengan tingkah Laras. Tidak biasanya Laras menyusulnya saat belum sampai di kafe.
Laras mengatur napas sedemikian rupa sebelum akhirnya membuka suara. “Capai juga,” tuturnya. “Udah tahu, belum? Denger-denger, Pak Husain mau pindah ke luar Jawa. Dan manajer baru kita nanti, katanya masih muda, Nay. Denger-denger lagi, cakep gitu orangnya. Aku jadi penasaran!” celoteh Laras panjang lebar. Ada raut kebahagiaan terpancar dari wajahnya.
Naya berdecak sambil mengangkat sebelah alisnya. “Kamu denger dari siapa? Lagian, Pak Husain mau pindah malah kamu seneng. Tega, ya.”
Bukannya merasa bersalah, Laras justru meringis mendengar tanggapan Naya. Tanpa menghiraukan Laras, Naya mulai melangkahkan kaki. Laras pun mengekor.
“Tadi Pak Husain sendiri yang cerita, Nay.” Laras menyejajarkan langkahnya dengan Naya. “Katanya sih, mulai Senin depan Pak Husain udah nggak di sini. Jadi, Senin depan beliau udah digantikan sama manajer baru ...,” lanjut Laras.
Naya manggut-manggut.
“Hari Sabtu nanti, Pak Husain ngajakin kita makan-makan bareng,” ucap Laras semringah. “Tapi kalau dipikir-pikir, sayang juga ya, kalau Pak Husain pindah. Nanti nggak ada yang traktir kita lagi, dong,” lanjutnya dengan wajah sedikit murung.
Naya menggeleng-geleng mendengar ucapan Laras. “Berdoa aja! Semoga manajer baru kita nanti nggak kalah baiknya sama Pak Husain.”
Laras tersenyum sendiri mengingat apa yang telah disampaikan Pak Husain kepadanya. “Kata Pak Husain sih, manajer penggantinya juga baik. Cakep, pula!” ujarnya seolah tidak sabar menanti kedatangan sang manajer pengganti.
Dalam perjalanan menuju kafe, Naya menepis segala pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran. Toh, nanti juga akan tahu sendiri jawabannya.
Dari kejauhan, tampak Pak Husain menggeleng sambil berkacak pinggang. “Kalian ini mau kerja atau jalan santai? Jam berapa, ini?” tanyanya sambil menunjuk jam yang melekat di pergelangan tangan kanannya.