Hari ini tidak seperti kemarin. Matahari bersinar cerah, tapi mendung justru menggantung di wajah Naya. Tidak sengaja melihat sosok Gasta kemarin, dengan cepat mengubah hidupnya. Entah sudah berapa pelanggan yang komplain akibat kecerobohan Naya sejak pagi.
Naya hampir merasa dirinya baik-baik saja setelah sekian lama tidak bertemu dengan Gasta. Rasa bersalah Naya terhadap cinta pertamanya itu perlahan sirna meski tidak mengubah pribadinya yang masih tertutup akibat pengkhianatan sahabatnya.
Namun, kini rasa bersalah Naya terhadap lelaki itu kembali menghantui, membuat Naya kurang fokus dalam bekerja.
Pak Husain yang melihat keanehan dalam diri Naya, memerintahkan perempuan itu untuk beristirahat lebih awal dan memanggil pegawai lain untuk menggantikan Naya bekerja.
Vicko yang mendengar cerita Laras tentang Naya, datang lebih awal untuk memastikan keadaan perempuan itu. Dia menemui Naya yang masih tidak bergeming di ruang istirahat, duduk memeluk lutut dan bersandar pada tembok bercat biru muda yang bertambah dingin karena pendingin ruangan.
“Nay,” sapa Vicko saat dilihatnya netra Naya yang terpejam, lalu duduk di sebelah Naya tanpa diminta.
Naya membuka mata saat mendengar sapaan Vicko. Lelaki itu mengangsurkan secangkir cokelat hangat yang langsung disambut Naya tanpa protes seperti biasa.
Vicko menarik kedua sudut bibirnya ke atas saat melihat Naya meneguk minumannya hingga tandas. Dia menerima dengan suka rela saat perempuan itu mengangsurkan cangkir yang sudah kosong kembali ke tangannya.
“Kamu sakit, Nay?”
Naya hanya menggeleng sebagai jawaban.
Vicko meletakkan cangkir di meja yang terletak di sebelahnya. “Mau aku anter pulang?” tanya sang barista untuk kedua kalinya yang lagi-lagi hanya dijawab dengan gelengan.
Vicko menarik napas panjang. “Kamu pucet banget, Nay.”
“Aku nggak apa-apa, kok,” sanggah Naya dengan senyum paksa.
Derap langkah terdengar mendekati ruang istirahat.
“Gimana, Nay? Kamu sakit?” tanya Pak Husain begitu sampai di ruang istirahat.
Naya menggeleng perlahan. “Saya nggak sakit, Pak. Mungkin cuma kecapekan aja,” jawabnya kemudian.
“Tapi kamu pucat sekali, Nay. Sebaiknya kamu periksa dulu. Biar Vicko yang antar, ya?” kata Pak Husain. “Nanti biar saya yang bayar dokternya,” imbuhnya.
“Makasih, Pak. Tapi beneran, saya nggak apa-apa, kok. Setelah istirahat, nanti juga baikan.” Naya tersenyum samar.
Pak Husain menggeleng-geleng melihat Naya yang tetap menolak untuk periksa. “Ya sudah, lebih baik kamu pulang sekarang! Biar Vicko yang antar,” paksa Pak Husain yang tidak bisa lagi dibantah.
“Yuk!” ajak Vicko yang mulai berdiri.
Naya membereskan tas sebelum akhirnya beranjak mengikuti langkah Vicko keluar kafe.
Tidak butuh waktu lama untuk tiba di tempat kos Naya, karena jarak kafe dari kos memang tidak terlalu jauh, tidak lebih dari satu kilometer dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki.
“Makasih ya, udah dianter pulang,” ujar Naya begitu tiba di tempat kos. Dia melenggang begitu saja tanpa menghiraukan Vicko yang sedang memarkirkan motor di halaman.
“Nay,” panggil Vicko.