Today is cloudy.
But found you smiled like found pretty one cupcakes.
Anandya Aluna Winata percaya semua orang memiliki caranya sendiri untuk bahagia. Bagi Luna, tidak ada yang lebih membuatnya bahagia selain menghirup aroma harum tepung yang menguar dari oven. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan selain bergulat dengan telur, butter cream, dan warna-warni yang cantik. Ia sangat menyukai semua itu. Ia hafal di luar kepala resep aneka kue khas dalam negeri sampai luar negeri. Banyak resep yang didapat dari ayahnya, majalah, koran, serta TV dan internet.
Sejak kecil, Luna begitu menggilai kue dan makanan manis. Segalanya dimulai ketika ayahnya membuatkan kue tar cantik di ulang tahunnya yang keenam. Sejak itu, Luna tahu mimpinya, menjadi chef yang ahli membuat pastry. Dan kelak, ia ingin memiliki bakery yang disukai banyak orang dengan cabangcabangnya yang tersebar di seluruh kota di Indonesia, bahkan dunia. Dulu—sebelum ayahnya meninggal karena serangan jantung, mereka memiliki sebuah bakery kecil bernama Winata. Namun, bakery itu kini menjadi bagian dari kenangan hidupnya Today is cloudy. But found you smiled like found pretty one cupcakes. yang terbentuk dalam foto hitam putih dan dipajang di ruang tamu kontrakan kecilnya. Ia terpaksa menjual toko rotinya untuk membiayai pengobatan ayahnya. Namun, kadang usaha tak sebanding dengan yang diperoleh. Ayahnya pergi menemui ibunya yang meninggal saat melahirkannya.
Sejak saat itu, dia benar-benar seorang diri. Dia tidak memiliki kakak maupun adik. Ketika ayahnya pergi, dia memutuskan untuk berhenti kuliah dan memilih mengikuti kursus tata boga. Kemampuannya yang sangat baik membuat Luna dipercaya oleh pemilik kursus untuk menjadi instruktur setelah dia lulus. Dia menekuni pekerjaannya hingga akhirnya bekerja di sebuah bakery bernama Home.
“Oke, pertama-tama, campurkan tepung dan telur lalu dimikser, kemudian ....” Dia bergumam sendiri. Sepertinya, suasana hati Luna benar-benar baik hari ini.
Jam dinding menunjukkan pukul setengah enam dan mendung yang menggelayut di langit ibu kota sejak semalam masih terlihat dari jendela dapurnya. Matahari bersembunyi lagi. Setelah dua puluh menit membuat adonan, menuangkannya ke cetakan cupcakes, dan memasukkannya ke oven, Luna mendesah senang. Ia tidak sabar menunggu oven berdenting dan segera menghias cupcakes-nya. Namun, ia lebih tidak sabar lagi membawa cupcakes-nya kepada Sanando Adi Gunawan. Jika ada hal lain yang membuat Luna bahagia adalah ketika melihat Nando tersenyum saat memakan kue-kue buatannya.
Luna turun dari Mio-nya dan melangkah menuju sebuah rumah dengan pekarangan kecil yang ditanami berbagai macamtanaman hias yang tampak segar sehabis disiram. “Pagi, Bu!” sapanya pada seorang wanita sembari mencium tangannya.
Sari, ibu Nando tersenyum hangat. “Nando di dalam. Masuk aja, Lun. Ibu nerusin nyiram tanamannya dulu, ya, nanti keburu dibawa sama Bapak ini.”
Luna mengangguk dan masuk ke rumah.
Sari seorang ibu rumah tangga, sementara Lutfi—ayah Nando—pemilik salah satu kios bunga di kawasan Tebet. Mereka punya kebun kecil di halaman belakang dan depan yang ditanami berbagai jenis tanaman hias untuk dijual. Meski tidak besar, Luna menyukai suasana di rumah ini.
Luna melangkah menuju dapur. Dia menemukan sosok tinggi berdiri membelakanginya. Luna menebak kalau Nando sedang membuat kopi karena ia mencium aroma kafein yang harum di udara. Ia menghabiskan beberapa menit untuk mempelajari punggung pria itu. Punggung yang selalu membuat sekujur tubuhnya hangat hanya dengan melihatnya. Entah berapa menit yang ia habiskan untuk mengawasi punggung Nando sampai pria itu berbalik menghadap ke arahnya.
“Luna?!”
Suara bariton Nando membuatnya tersadar dan mengerjap beberapa kali. Ia bisa merasakan sudut matanya basah menyadari bagaimana kondisi Nando saat ini. Cepat-cepat ia menghapusnya dengan punggung tangan. Ia berjalan menghampiri Nando, memeluk pria itu singkat dan mengecup pipinya. “Hai ... pagi, Do!” sapanya riang kemudian memberikan tongkat sensor, yang sepertinya sengaja ditinggalkan di dekat kulkas, kepada Nando.
“Aku nggak butuh tongkat itu, Lun.”
Luna hanya tersenyum tipis. Ia menelusupkan tangannya ke siku Nando dan mengajak pria itu duduk di meja makan.
“Pagi ini aku buat cupcakes keju kesukaan kamu,” kata Luna sambil mengeluarkan kotak makanannya dari dalam paper bag dan memamerkan aromanya kepada pria itu. “Aku suapin, ya,” ucap Luna saat merasakan tangan Nando mengusap kepalanya. Nando mengangguk sambil tersenyum. Ia membuka mulut dan menggigit cupcake dalam ukuran besar. Nyaris setengah bagian.
Melihat Nando yang mengunyah cupcake buatannya dengan semangat membuat Luna tertawa kecil. “Obatnya udah diminum, Do?”
Nando mengangguk. “Kamu nggak bisa ya sehari aja nggak tanya begitu?” sindirnya sambil terus mengunyah.
Luna terkekeh mendengar nada pura-pura kesal di suara Nando, “Uh ... sayangnya nggak bisa deh.”
Nando mendengus, tapi sepasang mata cokelatnya seolah tersenyum. Nando bisa merasakan Luna juga tersenyum. Menatapnya hangat seperti yang dilakukan gadis itu sebelum dunianya menggelap. Sebelum retinoblastoma—kanker mata— merenggut penglihatannya dan membuatnya tak bisa lagi melihat wajah gadis itu.