Love Cake

Bentang Pustaka
Chapter #3

Oliebollen

I whispered to the darkness of night,

if the world too dark to be seen let me be a candle and keep it running with you.

Alarmnya berbunyi. Nando memanjangkan tangannya meraih weker dan mematikannya. Sesaat setelah Nando mengerjapkan matanya ia tertawa kecil. Tidak ada hal yang lucu. Hanya saja ... terkadang setiap kali bangun tidur, ia selalu berharap bisa kembali menemukan cahaya di antara kegelapan. Nando menarik napas dalam-dalam. Ia ingat. Hari ini ia ada janji dengan Yuda—teman sewaktu kuliahnya dulu. Yuda menawarkan pekerjaan untuk menjadi pengisi musik di kafe yang baru-baru ini didirikannya.

Sewaktu kuliah dulu, Nando adalah vokalis yang terkenal di kampus dan musik masih menjadi passion-nya sampai saat ini. Nando tentu saja tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.

Tiba-tiba ia teringat pertemuannya dengan Luna. Enam tahun lalu. Gadis itu menjadi penonton di salah satu panggungnya di sebuah event kampus. Luna adalah mahasiswa satu tingkat di bawahnya. Dia mengambil jurusan Teknik, sementara gadis itu berada di Manajemen. Tetapi pada semester tiga, Luna memutuskan keluar karena ayahnya meninggal dan memilih bekerja untuk menyambung hidup.

Nando masih ingat bagaimana gadis itu melompat-lompat ketika ia berdiri di atas panggung, menyerukan namanya dengan penuh semangat, dan tahu-tahu ia jatuh cinta pada gadis itu. Nando mengerjap ketika mendengar “Counting Star”-nya OneRepublic berbunyi. Ringtone untuk Luna. Nando meraba-raba nakas mencari ponselnya.

“Do, pagi ini aku nggak bisa mampir ke rumah. Nanti sore, mungkin. Kamu baru bangun, kan? Masih di tempat tidur pasti? Udah sarapan? Hari ini Jakarta lumayan cerah. Kayaknya sih nggak turun hujan. Eh, kamu udah minum obat?”

Ia bahkan belum sempat mengatakan “halo”, tetapi gadis yang meneleponnya sudah berbicara membentuk sebuah paragraf sederhana. Nando menggeleng dan tertawa. Ia tidak mengacuhkan serentet pertanyaan Luna dan memilih bertanya, “Udah di Home?”

“Udah. Baru sampai dan langsung telepon kamu,” Luna menghela napas di ujung sana, Nando bisa mendengarnya dengan jelas. Diam-diam ia membayangkan ekspresi wajah gadis itu.

“Lun,” panggilnya pelan. Bayangan wajah Luna masih ada dalam kepalanya. Ia masih ingat berbagai ekspresi Luna, seolah bisa melihat gadis itu dengan matanya. Tak apa jika kenyataannya ia buta dan tidak tahu apa-apa tentang dunia luar, baginya, cukup gadis itu sebagai dunianya.

“Hmmm? Ada apa, Do?”

Nando mengistirahatkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. “Sebelum kamu nelepon aku, kamu tahu aku lagi apa?” Ia bisa membayangkan Luna menggeleng. “Lagi keinget saat pertama kita ketemu,” ia terkekeh dan memberi jeda. “Ah, kayaknya ini gara-gara aku kangen sama kamu deh, makanya jadi melankolis begini.”

Terdengar dengusan yang bercampur dengan tawa geli di dalam teleponnya membuat Nando bertanya, “Kamu nggak kangen sama aku?”

“Enggak,” sahut Luna cepat. “Aku enggak kangen kamu,” tegasnya. Dahi Nando berkerut. Tetapi dua detik kemudian ia mendengar Luna berkata, “Aku nggak kangen kamu karena semalam udah puas nonton kamu lagi tidur.”

“Semalam Luna ke sini,” ujar Lutfi saat melihat Nando keluar dari kamar. Nando berhenti sebentar, menangkap sumber suara ayahnya kemudian tersenyum kecil sebagai jawaban. “Ibu di dapur?”

Lutfi mengangguk dan saat menyadari sesuatu ia berkata, “Iya. Ibu di dapur. Masak sayur daun singkong kesukaan kamu.” Wajah Nando seketika berseri-seri dan segera melangkah menuju dapur. Kehilangan penglihatan selama satu tahun membuatnya hafal denah ruang-ruang rumahnya.

“Mas Nando, semalam Mbak Luna ke sini tapi Mas udah tidur.”

Suara Tita—adiknya, menyapa Nando yang baru saja sampai di sekat antara ruang yang biasa digunakan untuk menonton TV dan makan.

“Ibu mana, Ta?” tanya Nando sambil duduk .

“Beli garam di warung belakang.”

Lihat selengkapnya