Aku terjaga dari tidurku karena rasanya malam begitu pengap, suasana saat itu terasa sangat mencekam. Aku mengintip dari balik jendela kamar, rumah orang-orang terlihat gelap, kendaraan yang biasanya lalu lalang pun tak ada satu pun kulihat. Entah kenapa rasanya malam itu aku merasa begitu gelisah, mata yang semula begitu mengantuk pun kini sulit terpejam.
Aku kembali duduk di atas tempat tidurku dan menatap jarum jam yang terus berputar, semilir angin dari balik jendela yang masuk ke dalam kamar seperti menusuk ke dalam rongga-rongga tubuhku. Kakak yang biasanya tidur di sebelahku sekarang tak ada, malam itu aku merasa seperti tak ada tanda-tanda kehidupan kecuali aku seorang diri.
Tiba-tiba aku mendengar suara keributan dari luar, aku mulai cemas dan takut. Aku membuka pintu dengan hati-hati dan pergi keluar kamar untuk mengeceknya.
Seketika aku shock menyaksikan apa yang terjadi di hadapanku, kedua mataku membulat dan jantungku seperti berhenti berdetak dalam waktu yang cukup lama, kakiku terasa kaku dan gemetar, mulutku seakan bungkam, aku hanya berdiri di tempat dan tidak tahu harus melakukan apa. Aku masih mematung dan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada mereka?
“Appa!! Eomma!!” Aku berteriak setelah melihat kedua orang tuaku tergeletak dengan beberapa bercak darah di pakaiannya.
Aku melihat Ibu tersandar di pojok pintu dan di pelipis sebelah mata kanannya mengeluarkan darah. Alangkah malang kepalanya telah di tembak, ia tak memberikan respons apa-apa sehingga aku semakin ketakutan.
Aku berlari dan memeluk ibu dengan suara tangis yang pilu, dia telah meninggalkanku untuk selamanya.
Aku mendengar suara Ayah mengerang kesakitan dari tempat lain, dengan cepat aku segera menghampirinya yang sudah terkulai tak berdaya. Aku kembali berteriak histeris karena di perutnya tertancap sebuah pisau, aku sangat panik dan tak tahu harus melakukan apa.
“Appa, appa!! jangan tinggalkan aku, kau harus bertahan.” Aku menggenggam tangannya yang berlumuran darah.
“Per―Pergi, pergilah dari sini.” Ayah seperti mencoba memperingatkan aku akan sesuatu.
“Tidak!! Aku tidak akan meninggalkan kalian berdua.” Aku meletakan kepala Ayah di pangkuanku dan menatap ke arah Ibu.
“Pergilah!! Arghhhh, dengarkan A―” Ayah berteriak dengan keras dan mengelus pipiku yang telah basah dengan air mata. Sehingga, wajahku juga ikut terbalut oleh lumuran darah.
“Papaaa!!”
Suara tangisku semakin pecah, meskipun aku terus berteriak meminta tolong semuanya hanya sia-sia belaka. Ayah menghembuskan nafas terakhirnya dan menyusul Ibu.
Aku berusaha untuk bangkit dan terus menyusuri isi rumah, tapi tak juga kutemukan keberadaan kakakku. Saat aku berlari keluar dan mencoba meminta bantuan orang terdekat, aku baru ingat kalau aku tidak memiliki tetangga dekat.