Go Hera memarkir mobilnya di depan rumah Hwang Siska, tempat yang selalu ia tuju saat dilanda masalah. Di antara sahabatnya, Hwang Siska adalah satu-satunya yang tinggal sendiri, membuat Hera merasa lebih leluasa untuk datang kapan saja tanpa khawatir mengganggu orang tuanya yang sedang berada di luar kota.
Malam itu, Hera mengetuk pintu rumah Siska. Suara ketukan yang lembut namun penuh harap menggetarkan malam yang sunyi.
Hwang Siska segera membuka pintu dan langsung disambut dengan pelukan erat dari Hera yang seketika meluapkan tangisnya. Hwang Siska tahu, sesuatu yang besar pasti telah terjadi.
Ia menuntun Hera masuk ke dalam rumah dengan hati-hati, namun langkah Hera terhenti ketika melihat Jinjin, suami Hwang Siska, yang baru saja keluar dari kamar dengan rambut kusut dan baju yang setengah terbuka.
"Chagiya, siapa yang datang?" Jinjin bertanya sambil merapikan rambutnya yang berantakan.
Hwang Siska berlari menutupi tubuh Jinjin, "Chagiya, tutup tubuhmu!"
Go Hera memutar badannya, mencoba menghapus jejak air mata dari wajahnya. "Maaf, sepertinya aku datang di saat yang salah."
Jinjin merasa canggung dan segera menawarkan diri untuk pergi, "Aku akan pergi kalau kalian butuh waktu berdua."
"Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya butuh tempat untuk menenangkan diri, tapi aku tak ingin mengganggu kalian," kata Hera, suaranya terdengar getir. "Aku akan pulang."
Namun, Hwang Siska memeluknya kembali, "Hera, kemarilah. Ceritakan padaku apa yang terjadi."
Jinjin ikut mencoba memahami situasi, "Apa kau ada masalah dengan Minhyuk?"
Reaksi Hera langsung berubah, ia melepaskan pelukan Siska dengan kasar. "Jangan sebut namanya di hadapanku!" Ia bergegas keluar rumah dengan langkah berat.
Go Hera kembali masuk ke mobilnya, duduk diam sejenak sebelum menyalakan mesin. Semua terasa berbeda sekarang. Hwang Siska sudah menikah, dan Hera sadar bahwa dia tidak bisa seenaknya datang ke rumah sahabatnya seperti dulu.
Enam bulan sejak Hae Lee koma berlalu begitu cepat, dan begitu banyak yang berubah. Hubungannya dengan Rocky, atau Minhyuk, kini berada di ujung jurang. Sejak mereka lulus kuliah, hidupan mereka semua seolah tercerai-berai.
"Chagiya, sepertinya tidak baik kalau Hera menyetir sendiri dalam keadaan seperti ini," ucap Jinjin dengan nada cemas.
"Kau ingin mengantarnya pulang?" tanya Hwang Siska, merasakan kekhawatiran yang sama.
"Bukan aku, tapi calon suaminya," jawab Jinjin sembari menghubungi Rocky.
Rocky segera merespons telepon dari Jinjin dan berjanji akan segera menyusul Hera. Setelah menutup telepon, Jinjin menarik Siska kembali ke kamar.
"Chagiya, apa ini?" Siska bertanya dengan sedikit bingung.
Jinjin tersenyum nakal, "Lakukan tugasmu sebagai seorang istri." Ia kembali membuka kemejanya dan duduk di atas tempat tidur, memandang istrinya dengan penuh cinta.
"Oppa, kenapa wajahmu sangat menggemaskan seperti ini?" Siska mencium kedua pipi Jinjin.
"Karena aku ingin kamu tidak pernah bosan menatapku setiap hari." Jinjin mencium bibirnya dengan lembut.
Jinjin meraih tubuh Siska ke dalam pelukannya dan membaringkan tubuh mereka ke atas tempat tidur dengan kasar.
Jedug!
Kepala mereka berdua terbentur tembok. Jinjin segera mengusap kepala Siska.
"Kau tidak apa-apa? Apa kepalamu sakit?" tanya Jinjin.
"Chagiya, temboknya tidak apa-apa?" celetuk Siska yang senang sekali menggoda suaminya.
"Kau ini, aku melindungi kepalamu tapi kau malah bertanya keadaan temboknya. Apa sekarang kau lebih menyayangi temboknya dari pada aku?"
"Tentu, aku lebih menyayangi suamiku."
Jinjin tersenyum puas.
Hwang Siska hanya bisa tersenyum kecil, mengetahui bahwa kebahagiaan ini adalah hasil dari perjuangan mereka berdua. Jinjin memeluk Siska erat, menciumnya dengan lembut dan penuh gairah.
Mereka berdua telah melalui banyak hal sebelum akhirnya bisa bersatu seperti ini, dan sekarang, mereka menikmati setiap detik kebersamaan itu.
Sementara itu, di dalam mobilnya, Go Hera menerima pesan dari nomor tak dikenal. Tangannya gemetar saat membuka gambar yang dikirimkan.