Alana masih tak percaya jika hubungan yang sudah ia jalin dengan Revan selama lima tahun lamanya berujung kandas. Alana kira selama ini dirinya yang menjadi utama, tapi ternyata tidak. Alana pulang setelah memastikan air matanya mengering. Jika Abi melihatnya, Abi pasti akan menceramahinya karena sejak awal Abi tidak menyetujui Alana berpacaran.
Alana hanya bisa melamun, menatap ponselnya. Revan tak lagi menghubunginya, bahkan foto profilnya saja sudah diganti. Alana mendengus, nyaris tak percaya kalau Revan bisa semudah itu menghapus foto kebersamaan mereka. Tidak hanya foto profil, foto-foto di sosial media Revan juga sudah dihapus.
Ponsel Alana berdering, membuat Alana terperanjat. Layar ponselnya menunjukkan sederet angka, nomor tak dikenal meneleponnya. Alana sempat ragu untuk mengangkatnya, sekarang sedang marak penipuan melalui telepon. Tapi jika benar, Alana akan mengerjai mereka balik. Harus ada seseorang yang menjadi pelampiasan emosinya.
“Halo?”
“Halo, calon istri.”
Alana berjengit saat mendengar sapaan itu. Tak perlu berpikir untuk mengetahui siapa peneleponnya. Ini sudah pasti Zidan, laki-laki yang sekarang menjadi sandungan dalam hidupnya.
“Mau apa telepon?” tanya Alana ketus.
“Whoa, sepertinya calon istri saya lagi bad mood. Saya telepon enggak ada apa-apa kok. Cuma menepati janji, tadi pagi saya bilang kalau saya akan hubungi kamu, kan. Jadi disimpan ya nomor calon suaminya.”
Alana mengacak rambutnya dan berteriak tanpa suara. Zidan selalu berhasil membuatnya kesal sejauh ini. “Suka-suka gue deh, mau disimpan atau enggak!” balas Alana masih ketus.
“Ya memang terserah kamu. Saya kan, cuma menepati janji aja. Kamu yakin, enggak butuh teman cerita? Kedengarannya kamu bisa makan orang sekarang ini.”
“Enggak deh, makasih. Malas cerita sama lo!”
“Ya sudah. Kalau gitu, selamat tidur.”
Alana tiba-tiba mendapat ide. Ide yang jelas bisa saja membatalkan pernikahannya ini. “Eh, eh! Bentar dulu! Besok bisa ketemu?”
“Udah kangen ya? Padahal minggu depan juga ketemu, kenapa harus buru-buru ketemu besok?”
“Bukan gitu. Ada yang mau gue omongin. Besok ketemu ya, jam empat sore. Gue pilih tempat!”
Alana akhirnya menutup sambungan telepon setelah Zidan menyetujui permintaannya. Ya, besok ia akan bicara dengan Zidan. Alana tidak akan mundur sampai Zidan menyetujui untuk membatalkan pernikahannya. Kini masalahnya bukan karena Alana ingin memilih Revan, tapi Alana ingin kebebasan untuk dirinya sendiri.
*
Alana sudah menunggu di kafe yyang tak jauh dari tempat Zidan bekerja. Tempat ini ia pilih bukan karena ia mengerti kesibukan Zidan, tapi karena Alana tak ingin Zidan punya alasan untuk mangkir dari pertemuan ini. Pertemuan ini rahasia, Alana tak menceritakannya pada siapa pun.
Zidan masuk tak lama kemudian. Pakaiannya terlihat rapi dengan kemeja hitam digelung, menunjukkan otot tangannya. Matanya tertuju pada Alana, bibirnya melengkungkan senyuman. Senyuman yang membuat Alana sebal.
“Hai. Maaf tadi saya ada klien, dia agak lama konsulnya,” ucap Zidan sambil duduk berhadapan dengan Alana.
Seorang pelayan kafe menghampiri mereka dan memberikan menu. Zidan dan Alana sama-sama melihat menu. Sebenarnya Alana ingin memesan cokelat panas dan sepotong red velvet cake, tapi ia ragu. Khawatir Zidan akan menganggapnya lemah atau tak jauh berbeda dengan anak kecil yang menyukai cokelat dan kue.
“Saya pesan cappuccino. Kamu pesan apa?” ucap Zidan. Si pelayan kafe langsung mencatat pesanan Zidan.
Alana langsung mengalihkan perhatiannya ke menu. Jika Zidan pesan cappucinno, Alana ingin memesan yang lebih berdampak. Ia ingin menunjukkan pada Zidan kalau ia perempuan dewasa yang kuat. Tak bisa diremehkan oleh seorang Zidan.
“Kopi hitam panas. Tanpa gula.”
Zidan mengangkat alis saat Alana mengatakan pesanannya. Alana tersenyum puas dalam hati. Zidan pasti tak mengira pesanan Alana.
“Alana, kamu yakin? Memang kamu suka?”
“Kenapa? Lo pikir, gue bakal pesan cokelat panas dan red velvet cake, gitu? Gue bukan cewek yang manis dan lembut kayak cinnamoroll!” ujar Alana.
Zidan menahan tawa. “Saya sama sekali enggak keberatan kalau kamu pesan cokelat panas dan kue. Serius. Daripada kamu enggak suka sama apa yang kamu pesan.”
Alana menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Kini saatnya ia bicara serius dengan Zidan. Perbincangan ini akan menentukan nasib Alana.