Tak terasa, hari kenaikan kelas telah tiba. Brina masuk ke kelasnya yang baru. Matanya menyusuri tiap sudut ruangan. Ia mengamati teman-temannya yang akan sekelas dengannya. Beberapa dari mereka, ada yang belum pernah sekelas dengannya.
“Brina!” panggil Prita. Brina tersenyum senang karena menemukan teman dekatnya.
“Kita sekelas lagi!” serunya.
“Kita memang berjodoh. Sejak kelas satu SMA, selalu saja sekelas,” ujar Brina.
“Oh ya, kamu tahu kita sekelas dengan siapa saja? Kamu mungkin merasa sedih karena kita sekelas dengan orang itu,” kata Prita membuat Brina penasaran.
“Orang itu siapa?” tanya Brina sambil mengamati teman-teman sekelasnya dengan teliti. Matanya tertuju pada seseorang yang baru masuk ke kelas. Wajahnya sudah tak asing lagi. Orang itulah yang dimaksud oleh Prita.
“Hana?” Brina enggan menyebut nama gadis itu. Di belakang Hana, muncul Vella.
“Kita sekelas dengan Hana dan Vella?” tanya Brina dengan suara pelan.
“Iya. Menyebalkan sekali kan? Selain itu, kita juga sekelas dengan cowok usil tukang onar bernama Alvin,” kata Prita lagi.
Brina langsung membelalakan matanya begitu melihat Alvin masuk ke dalam kelas lalu berjalan menuju ke arahnya. Rambutnya yang disemir coklat membuatnya tampak seperti bule. Namun anehnya, pihak sekolah tak mempermasalahkan rambut Alvin yang disemir padahal hal itu melanggar peraturan sekolah. Mungkin karena wajah Alvin yang memang mirip bule. Ia tampak cocok dengan rambut coklatnya.
“Aku sekelas dengan Alvin?” Tanpa sadar, Brina tersenyum. Ia masih menyukai cowok itu. Walaupun banyak orang yang tak menyukai Alvin karena sikapnya tapi Brina tetap menyukainya. Alvin memang sosok cowok yang malas dan kasar. Teman-temannya sering menjulukinya ‘preman sekolah’. Pernah suatu kali Alvin tertangkap basah sedang merokok di belakang sekolah. Alhasil, orang tua Alvin dipanggil ke sekolah.
“Brina,” panggil Prita sambil mengayunkan tangannya di depan wajah Brina.
“Ah, apa?” tanya Brina, tersadar dari lamunannya. “Kamu kenapa sih? Kok melihat si Alvin sampai sebegitunya?” Brina hanya tertawa kecil lalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Mata Brina menangkap sosok William yang sedang duduk di pojok dekat dinding. Ia asyik mendengarkan lagu melalui headphonenya. “Kita juga sekelas dengan William,” ucap Brina.
“Iya. Kita sekelas lagi dengan orang itu,” sahut Prita. Brina mengalihkan pandangannya pada Vella yang duduk di bangku tengah bersebelahan dengan Hana. Mata Vella mengarah pada William. Bibirnya tersenyum. “Ternyata Vella masih menyukai William,” batin Brina.
Kali ini Brina memandang Alvin yang sedang menatap Vella dari tempat duduknya. “Kenapa Alvin selalu memperhatikan Vella? Apa Alvin suka Vella?” Sejak SMP, Alvin dan Vella begitu akrab walaupun akrab dalam artian sebagai musuh yang tak pernah akur. Perasaan cemburu merasuk di hati Brina.
==
Pembagian kelompok dimulai. William menoleh kearah Brina yang masih asyik menulis tugas kelompok di buku tulisnya. “Aku ikut kelompokmu ya?” ucap William. Brina menoleh ke arah William lalu mengangguk. “Oke. Kalau begitu, masih kurang satu orang anggota lagi.” Pandangan Brina tertuju pada Vella. Dulu saat SMP, Vella dan Brina selalu satu kelompok. Mereka selalu bersama-sama dan tidak terpisahkan. Tak disangka, Vella menoleh ke arah Brina.
“Kamu ingin masuk ke kelompokku?” tanya Vella pada Brina.
“Sorry, aku sudah punya kelompok sendiri tapi masih kurang satu orang lagi. Apa kamu mau bergabung?” Brina balik tanya. Walaupun Brina tak menyukai sikap Vella tapi ia masih memiliki keinginan untuk dapat mengembalikan sosok hangat sahabatnya seperti dulu, sebelum pengkhianatan itu terjadi.
“Kamu sekelompok dengan siapa saja?” tanya Vella sambil sesekali matanya mencuri pandang pada William.
“Prita dan William.” Mendengar nama William, Vella langsung tersenyum kecil.
“Kalau begitu, aku ikut kelompokmu.” Ucapan Vella membuat Hana menoleh dan langsung protes.
“Kalau kamu masuk ke kelompok Brina, lalu aku dengan siapa? Kamu tidak bisa seenaknya meninggalkan aku.” Hana mendengus kesal. Matanya menatap Brina dengan pandangan menyalahkan.
“Brina, apa anggotamu tidak bisa dikurangi satu orang? Aku nggak bisa meninggalkan Hana sendirian.” Brina menggeleng pelan.