“Maaf kalau lama menunggu, pesawatku dari Jakarta delay 15 menit. Padahal first flight. Biasanya enggak delay kalau penerbangan pertama,” sapa Arini sembari duduk di kursi kosong sebelah Boy. Boy salah satu klien yang kerap menggunakan jasa LoveInc, dan Arini yang selalu mendapatkan kesempatan itu.
Siapa bilang uang tidak bisa membeli cinta? Boy dan LoveInc membuktikannya.
“Bisa dimaklumi. Mau sarapan dulu?” Boy menatap Arini sembari menyandarkan tubuhnya di kursi.
Arini menggeleng, “Aku sedang diet.”
Boy melirik Arini, dia sedikit kikuk, atau lebih tepatnya terkesan kaku, “Kapan terakhir kita bertemu? Aku lupa.” Arini kembali tersenyum, “Seminggu yang lalu, saat kamu minta ditemani ke kondangan teman SMU kamu, di Jimbaran, kamu lupa?”
Boy menggaruk kepalanya, “Oh iya, ingat ... kamu ke-betulan ada tugas kerja di Bali juga ya waktu itu?” Boy menyesap kopi dari cangkirnya.“Betah amat di LoveInc? Enggak pengen pindah kerja?”
“Sejauh ini sih pengen. Cuma perusahaanku sekarang bonusnya lumayan, dan kerjanya jalan-jalan mulu, aku sih suka. Setidaknya mumpung masih muda, bisa keliling Indonesia plus bisa kenal dengan orang-orang baru,” mata Arini menerawang, seolah menembus air kolam yang begitu jernih di hadapannya.
“Apa semua orang baru selalu baik? Maksudku enggak ada yang iseng? Misalkan minta lebih dari sekadar ditemani?”
“Kalau soal itu akan kutolak secara gamblang. LoveInc bukan jual beli seks,” Arini berhenti sejenak. “Tapi, kan memang semua pekerjaan pasti punya risiko. Termasuk anggapan orang, kalau aku cewek panggilan.”
“Terakhir ke mana?” Boy terlihat penasaran.