Tamat riwayat gue di tangan senior.
Letisha berjongkok di belakang barisan. Kedua tangannya melingkupi kepala, sementara wajahnya terbenam di antara kedua lutut. Tubuhnya gemetar ketakutan. Teriakan-teriakan para panitia MPLS membuatnya meringkuk semakin erat. Dia ingin menciut dan menghilang dari tempat ini. Bisakah keajaiban itu datang?
“Yang properti MPLS-nya lengkap, silakan baris di sisi kanan lapangan. Yang tidak membawa properti atau tidak lengkap, silakan berbaris di sisi kiri!”
Instruksi itu jelas dan Letisha tahu ke mana dia harus berbaris. Yang jelas, bukan berjongkok di belakang barisan seperti sekarang.
“Kamu kenapa malah jongkok di belakang?”
Jantung Letisha rasanya ingin lepas saat itu juga. Dia yakin teguran itu dilayangkan kepadanya.
“Kamu dengar tidak?” suara itu diiringi derap langkah mendekat.
Letisha berharap dirinya pingsan saat itu juga sehingga petugas medis menyelamatkannya. Sayangnya Letisha dalam kondisi prima. Dia makan, minum dan tidur terlalu cukup semalam—saking cukupnya, dia melupakan properti yang harus dibuatnya.
“Hei!”
Lewat celah dekapan kedua tangannya, Letisha bisa melihat sepasang sepatu hitam itu berdiri setengah meter darinya. Tanpa mengusap air mata, Letisha mendongak—sengaja barangkali dikasihani.
Farzan, senior dari kelas XI yang memperkenalkan diri sebagai ketua MPLS tahun ini, menatapnya tanpa belas kasih. “Kalau tidak bawa properti, baris di sebelah kiri! Jangan bikin gimmick di sini!”
Letisha tergeragap. Modusnya menghindari hukuman terendus.
“Semakin lama menunda, semakin berat hukuman kamu!” Farzan berpaling ke sisi kiri lapangan lalu berteriak pada temannya. “Yo, pesan tempat special di sisi paling kiri buat yang berusaha menghindari hukuman!”
Tubuh Letisha langsung berdiri tegak. “Jangan, Kak!” Dia mengambil langkah seribu menuju barisan ketika sebuah tangan tiba-tiba terentang untuk menghentikannya. Letisha nyaris terjengkang kalau sosok itu tidak menahan bahunya.