Letisha menakar jarak aman antara dirinya dan dua cowok yang mengantarnya menuju tongkrongan Grim. Dia juga mengira-ngira jarak tempat ini menuju ruang guru seandainya tempat yang dituju berbahaya. Mendadak, ingatannya soal rumus jarak menghilang. Rumus sederhana yang harusnya dia hafal luar kepala. Letisha mengetuk kepalanya. Kenapa papanya menyarankan masuk IPA jika otak anaknya setumpul ini?
Mendadak Letisha jadi tegang. Lebar langkahnya menyusut dan kakinya gemetar. Kalau kecepatan lari bisa diukur satuannya, apakah keberanian juga bisa diukur satuan dan besarannya? Letisha sadar dirinya pengecut dan merasa bodoh sekali nekad ke sini. Kenyataannya, tempat yang dituju memang suram dan semengerikan yang dibicarakan semua orang. Letisha menyesal tidak menuruti kata-kata mereka.
Terletak di sudut belakang sekolah, warung kecil itu sebenarnya rumah penjaga sekolah yang istrinya sekalian membuka warung. Cowok-cowok berpenampilan urakan sedang merokok di teras rumah kecil itu. Meja-meja berdempet rapat dan semua tempat sudah terisi. Tawa dan obrolan absurd mereka terdengar membahana.
“Rokok, Grim?” Banu mengangsurkan sekotak rokok dan segera didorong kembali oleh Grim. Banu dan teman-teman sekelilingnya melempar pandangan. “Gratis ini, nggak dibayar pakai uang saku dari nyokap lo kok.” Disodorkannya lagi rokok itu pada Grim.
“Nggak ngaruh bujuk rayu iblis lo.” Grim mendorongnya kembali pada Banu.
“Kalau ke sini nggak ngerokok terus buat apa?” Teman mereka yang lain mengambil rokok Banu dan segera menyulutnya.
“Gue mau jadi anomali yang baik di antara kalian yang busuk. Itu poin plus gue.” Grim mencomot gorengan dan melahapnya. Kedua kakinya menyilang di atas bangku.
“Kalau gitu, kenapa lo nggak gaul sama kita-kita?” tanya yang lain.
“Kalau gaul sama mereka, gue jadi anomali terbusuk di antara yang baik. Poin gue minus dong. Gue mau dapat poin plus, bukan minus.”
“Mending lo nongkrong di kantin sono. Salah pergaulan lo di sini.”
“Nggak ah, penyet cabe ijo Bi Salim nggak ada duanya,” Grim mengedip pada penjaga warung.
Bi Salim tersenyum. “Sejak kapan di sini jadi tempat merokok? Bi Salim jualan rokok juga enggak. Kalian saja yang pada bandel. Nanti kalau ada razia, Bi Salim lagi yang kena. Apes deh, apes.”
Cowok-cowok itu cuma tertawa menghadapi keluhan Bi Salim.
“Setelah gue pikir-pikir,” Banu menyesap rokoknya dalam-dalam, “Sebenarnya image lo yang ditakuti semua orang itu sama sekali nggak cocok, Bro.”
“Maksud lo?” Grim menandaskan gorengannya lalu menegak es jeruk yang tinggal setengah.
“Panggilan lo doang serem, aslinya mellow. Gerimis.” Banu meresapi setiap suku kata saat mengucapkan nama Grim. Matanya memejam dan tangannya menari di udara seolah tengah berpuisi. Dia tertawa-tawa saat mendeklamasikan nama itu.
Alih-alih ikut tertawa, semua orang mendadak diam seribu bahasa. Suasana mendadak tegang. Begitu membuka mata, Banu mendapati semua orang menatapnya nanar. Semua orang berhenti mengunyah. Rokok yang diambil dari kotak Banu dipadamkan dan diletakkan kembali ke atas meja.