“Papa!” Kedua tangan Letisha terentang. Senyumnya tak kalah lebar melihat papanya sudah ada di rumah saat dia pulang sekolah. Letisha menghambur dalam pelukan papanya. Aroma papa. Aroma yang sangat Letisha suka. Menenangkan dan mengangkat semua persoalan. Letisha bergumam tak jelas sambil menghirup aroma itu banyak-banyak.
Ardy tertawa. “Sudah kelas X, masih saja kayak bocah. Malu ah, didengar orang. Anak gadis teriak-teriak meluk papanya.” Meski begitu, dia tetap saja mendekap putrinya penuh rindu seolah berhari tak bertemu.
“Biarin. Cuma orang iri yang bilang aku kekanakan.”
“Udah ah, ganti baju dulu terus makan. Papa mau dengar cerita hari pertama MPLS kamu.”
Bibir Letisha langsung mengkerut. Ardy mengerutkan kening melihat perubahan ekspresi Letisha.
“Ada apa? Pasti berat, ya?” tatapan Ardy berubah prihatin. Dia tidak mau putrinya kesulitan. “Kamu pasti nggak nyaman di sana. SMA Wasesa punya image yang bagus, tapi dalamnya,” bahu Ardy mengedik, bibirnya mencebik. “Makanya Papa lebih setuju kamu masuk SMA Kama.”
Kepala Letisha menggeleng manja. “SMA Kama kan, sekolah berasrama. Udah cewek-cowok di pisah, aku nggak bisa setiap hari ketemu Papa, dong,” tangannya bergelayut di bahu Ardy. Juga Mama.
“Tapi di sana, kamu diajarin mandiri. Biar nggak manja terus.” Telunjuk Ardy menjawil hidung putrinya. “Sayang banget waktu itu Mama kamu telat daftarin. Mamamu itu memang sengaja supaya kamu masuk Wasesa.”
Tenggorokan yang belum lama dibasahi Letisha dengan air mendadak terasa kering.
“Dia memang begitu, sibuk sama urusan sendiri. Tahu gitu biar Papa saja yang daftar.”
“Aku nggak apa-apa, Pa.” Senyum Letisha terulas tulus. Semakin sering papa menyebut kata ‘mama’, Letisha merasa semakin dirajam rindu. “Berat sih, tapi aku nggak ngerasain beratnya. Cuma aneh saja.” Letisha meletakkan tasnya di meja makan, lalu duduk sambil meneguk air putih yang sudah tersedia.
“Aneh gimana?” Ardy ikut duduk di samping putrinya.
“Aneh,” Letisha berusaha memilah kalimat yang tepat untuk diungkapkan. “Ada kakak kelas yang tiba-tiba datang terus ngasih perlengkapan MPLS buat Letisha.”
“Senior kamu di SMP dulu mungkin?”
Letisha diam sejenak. Berusaha mengingat-ingat kemungkinan yang tidak terpikir olehnya. Sejurus kemudian dia menggeleng. “Nggak ada. Aku pasti ingat kalau ada kakak kelas seaneh dia.”
Ingatan Letisha digiring kembali pada peristiwa tadi sore saat dia memergoki Grim nyaris menghajar orang. Rambut ikalnya yang nyaris mencapai bahu—bagaimana mungkin guru luput menegurnya kalau dia tidak menyeramkan. Dagu, cuping telinga, sudut mata dan pucuk hidungnya yang runcing seolah dia itu elf dari dunia yang tersembunyi dalam kegelapan. Kemeja yang tidak dikancingkan sempurna hingga kaos putihnya terpampang nyata. Seringainya yang tenang dan menghanyutkan saat akan menghabisi lawan. Jika Letisha punya kakak kelas di SMP semacam dia, tampang kriminalnya itu jelas tidak mudah dilupakan. Hanya saja, Letisha tidak ingin menceritakan pemikiran itu pada papanya. Ardy akan lebih khawatir lagi dan dia akan mulai membahas soal pilihan sekolah yang salah.