“Gue nggak ngerti ya, apa gue kayak baby sitter sampai harus berangkat pagi-pagi cuma buat nyari bangku buat Tuan Puteri?” Grim merendahkan bahu dengan takzim.
Letisha mengerjap seperti tengah kelilipan. Masih pukul setengah tujuh pagi dan dia sudah melihat Grim nangkring di atas meja kelas X IPA 2. Tepatnya bangku nomor dua dari depan dan berada di sisi jendela. Cahaya matahari keemasan jatuh di kedua bahu Grim. Rambut gondrongnya kemerahan didera sinar mentari dari belakang. Cahaya keemasan dan rim light adalah perpaduan yang agung untuk mengukir siluet seseorang. Sayangnya ini Grim, bukan sosok yang lain. Letisha harus menggusah kekagumannya jauh-jauh.
“Kak Grim?” Letisha bertanya untuk menegaskan bahwa dia tidak salah masuk kelas atau berhalusinasi melihat Grim. Matanya menyisir seluruh ruangan untuk memastikan ada orang lain yang melihat ke arah mereka—melihat Grim lebih tepatnya.
“Bukan, malaikat pencabut nyawa.” Grim melompat turun dari bangkunya. “Heran ya, umur lo berapa?”
Dengan bodohnya Letisha menjawab pertanyaan retoris itu. “Enam belas, Kak.”
“Nah, enam belas tahun cari bangku saja harus dicariin?” Tangan Grim bersedekap. Matanya gemas sekali ingin melibas Letisha. Untung lo cewek.
“Cari bangku?” Letisha mengernyit bingung.
Iya betul, hari ini pertama kalinya mereka masuk ke kelas. Kemarin selain dipanggang di lapangan, mereka cuma bisa duduk-duduk di auditorium. Hari ini pertama kalinya kelas dibuka dan seperti sudah menjadi budaya, semua orang berebut untuk mendapatkan kursi paling strategis di hari pertama masuk kelas. Tapi apa hubungannya mencari bangku dengan Grim?
“Nih, bangku lo.” Grim mengetuk meja yang tadi didudukinya. “Sudah punya kandidat teman sebangku belum lo? Kalau belum, berdoa saja ada orang yang mau temenan sama cewek manja kayak lo.”
Grim selangkah meninggalkan Letisha ketika cewek itu menghentikannya.
“Gue kan, nggak minta … anu … Kakak kenapa cariin gue bangku?”
Perlahan Grim memutar badannya. Bibirnya setengah terbuka dengan senyum yang sulit didefinisikan maknanya. Kata-kata Grim batal terucap karena sebuah suara menginterupsi mereka.