Jatuh cinta merupakan perasaan yang luar biasa bagi setiap orang yang pernah mengalaminya. Dan seharusnya jatuh cinta membawa kebahagiaan, kenyamanan dan harapan. Tapi sepertinya, semua itu hilang begitu saja ketika ternyata seseorang yang kita cintai adalah seseorang yang tidak boleh kita cintai. Dan hal ini terjadi padaku, tepat pada saat aku mulai mengenal perasaan yang satu ini dengan lebih baik.
"Buku ini kayaknya oke," gumamku.
Saat itu, aku sedang berada di sebuah toko buku. Selama setahun penuh aku benar-benar mendedikasikan hidupku hanya untuk belajar. Makanya setelah lulus UN dan berhasil masuk ke universitas yang aku inginkan, aku ingin menghadiahi diriku dengan beberapa buah novel sekaligus.
Setelah memilih beberapa novel terbaru, aku bermaksud membayar di kasir. Tapi kupikir tidak ada salahnya bagiku untuk melihat-lihat sebentar buku-buku Arsitektur yang pernah ditulis oleh Papa.
Perencanaan dan Perancangan Rumah Tinggal, Aydan Firmansyah. Itulah salah satu judul buku yang ditulis oleh almarhum Papa. Buku ini sudah dicetak entah berapa kali dan menjadi salah satu buku pegangan bagi banyak mahasiswa jurusan Arsitektur. Aku mendesah, entah apakah aku bisa menyamai kehebatan Papa, tapi yang pasti aku tidak boleh putus asa.
Mendadak aku merasa sedih kembali. Kenapa Papa harus secepat itu pergi meninggalkan aku dan Mama? Aku membalik buku untuk melihat cover bagian belakang, di sana tercetak beberapa kalimat mengenai biodata Papa. Di sini tertulis kalau beliau merupakan lulusan ITB dengan nilai cumlaude; menjadi dosen di beberapa universitas dan bekerja di sebuah BUMN konstruksi; menulis beberapa buah buku dan pernah mendapat penghargaan dari Menteri BUMN.
Aku termenung sejenak, ternyata berat juga perjuanganku kalau ingin menyamai sepak terjang Papa. Tapi kemudian aku teringat pesan terakhir Papa saat aku akan berangkat ujian.
"Alisha, jadilah dirimu sendiri. Kerjakanlah apa yang kau sukai dengan sungguh-sungguh, jangan pedulikan penilaian orang lain kalau hal itu hanya akan menghambat dirimu dan membuatmu tidak bahagia. Apapun yang akan terjadi padamu, Papa pasti akan selalu mendukungmu," ucap Papa saat itu.
Papa....
Tiba-tiba, ada seseorang yang menabrak tubuhku dari samping, sehingga buku yang sedang aku pegang terjatuh. Mau tidak mau, nostalgia ini harus terganggu dan itu membuatku sangat kesal.
Aku langsung menoleh untuk melihat siapa yang baru saja menyenggolku namun tidak mau repot-repot meminta maaf. Benar saja, orang itu malah terus saja berjalan menyusuri rak, seperti tidak merasa bersalah karena sudah menabrak tubuhku dengan sengaja.
"Hei!" panggilku dengan agak kencang.
Awalnya pemuda itu tidak juga menoleh, dia terus saja menyusuri rak buku. Bertambah kesal, aku memutuskan untuk menghampiri dan mencolek pundaknya.
"Ya?" tanya pemuda itu dengan tampang polos sekaligus songong. Ya ampun, menyebalkan sekali.
"Kamu baru saja menyenggolku dan tidak meminta maaf," jawabku cepat.
Tapi pemuda itu malah diam saja seperti sedang meneliti wajahku. Kemudian dia pun bertanya, "Kamu? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"
Aku mengerutkan alis, "Jangan mengalihkan masalah, deh! Kamu telah menyenggolku dengan kencang sampai buku yang ada di tanganku terjatuh. Kamu sebaiknya meminta maaf!" ucapku masih emosi.
Pemuda itu terdiam memandangi wajahku, dan tiba-tiba saja dia mengatakan sesuatu yang tidak aku duga, "Oh, kamu putrinya Om Aydan bukan? Apa kamu enggak ingat? Aku kan, juga datang di acara pemakaman saat itu. Fritz!" Dia mengulurkan tangannya.
Mendengar ucapan itu tentu saja membuatku jadi kehilangan kata-kata. Tanpa terasa air mata merebak di kedua pelupuk mataku. Ucapannya baru saja membuatku jadi teringat pada kejadian setahun yang lalu.
*****