Love Hurts

Ninna Rosmina
Chapter #2

2. Dan Ternyata Kami Satu Kampus

Kupikir, pertemuan saat itu merupakan pertemuan yang tidak akan terulang kembali. Kamu tahu, seperti ketika kita sedang berada di dalam terminal. Kita bertemu dengan orang-orang, saling sapa, tapi kemudian akan berpisah tanpa menanyakan nomor kontak masing-masing, orang asing yang akan tetap menjadi orang asing. Namun, rupanya nasibku dan dua orang lelaki yang aku temui di toko buku saat itu tidak sama seperti itu.

Ketika kuliah baru saja dimulai, tentu saja setelah menjalani masa orientasi selama seminggu, duniaku mulai berubah, seperti baru saja dijungkir-balikkan. Aku melihat wajah berkulit pucat dengan senyum miring seolah sedang mengejek, berdiri di depan kelas dan melihat ke arahku dengan mata berkilat-kilat.

Aku langsung memalingkan wajahku dan menutupinya dengan tas ransel. Berdoa semoga dia tidak melihat wajahku, tentu saja hal itu merupakan hal yang sangat tidak mungkin.

Kudengar langkah kaki menghampiri mejaku, kemudian tasku ditarik dan suaranya pun terdengar di telingaku.

"Hei, cewek cengeng, kita ketemu lagi ya!" ucapnya, dan hal itu bukanlah merupakan salam pertemuan kembali yang menyenangkan.

Mau tidak mau demi sopan santun yang sudah diajarkan padaku sejak aku bisa berbicara, aku memasang senyum di wajah semanis mungkin, "Hai, iya, enggak nyangka sama sekali ya!"

"Sepertinya kampus ini akan mulai jadi menyenangkan," lanjut Fritz.

"Semoga saja, asal kamu jauh-jauh dariku," sahutku pelan masih mencoba menampilkan senyum terbaikku.

"Sepertinya kamu salah potong rambut ya?"

What?

"Modelnya enggak cocok dengan wajahmu, sepertinya bagian kanan lebih panjang dari kiri ya? Apa sengaja dibuat asimetris? Poninya itu apa enggak terlalu pendek? Kayak boneka gitu jadinya! Orang pasti akan mengira kalau kamu masih SMP dengan potongan rambut seperti itu," komentarnya.

Dan aku pun bertambah keheranan. Sebenarnya dia ini laki-laki yang kuliah di jurusan Arsitektur atau laki-laki yang kuliah di jurusan Tata Rias?

"Fritz, akhirnya ketemu juga. Kita dipanggil ke ruang dosen." Dan seharusnya sudah kuduga, kalau ada dia, cowok itu pasti juga ada di sini. Dan entah kenapa, kenyataan ini membuatku merasa sangat bahagia.

"Siap, Bro, siapa yang manggil? Pak Yayan?" tanya Fritz.

"Yep! Eh, kamu kuliah di sini juga? Mahasiswa baru?" tanya Raka begitu dia melihat wajahku. Dan akhirnya dia pun ikutan masuk ke dalam kelas.

Sebenarnya aku tidak menginginkan hal ini. Tapi ketika kita menjadi mahasiswa baru dan ternyata ada dua senior yang mengenal kita dan menghampiri kita di dalam kelas tepat di hari pertama kuliah, hal itu pasti menjadi sorotan di kalangan senior jurusan arsitektur (Baca: khususnya senior perempuan!).

Lihat selengkapnya