Aku memang berharap kalau aku bisa satu mata kuliah dengan Raka Wijaya Kusuma, tapi aku sama sekali tidak berharap kalau aku akan satu mata kuliah dengan si usil, Fritz Mario Noeman. Lagipula seharusnya dia sama seperti Raka yang sudah mengambil Tugas Akhir. Tapi karena Fritz ini bandel dan tugasnya tidak pernah maksimal, nilai-nilainya banyak yang C dan D. Sehingga dia harus memperbaiki nilai-nilai tersebut sebelum mengambil Tugas Akhir.
"Wow, gambarmu keren juga," ucap cowok itu sambil bersiul. Tiba-tiba saja dia sudah mengambil kertas tugasku dan melihatnya.
"Heeeii, kembalikan!" omelku dengan urat syaraf yang sudah mengeras di kedua pelipisku.
Fritz memandang wajahku dan kelihatannya dia merasa kecewa karena detik berikutnya dia langsung memberikannya padaku.
"Pelit!" gumam Fritz.
Kemudian cowok itu berlalu begitu saja, membuat aku jadi semakin gemas dan rasanya ingin melempar wajahnya yang sok itu dengan penggaris.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, semua mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini masuk ke dalam ruangan studio. Tak lama kemudian, dosen pun tiba. Setelah sedikit berbasa-basi mereview kuliah yang sebelumnya, Pak Suroto meminta seluruh mahasiswa untuk mengumpulkan tugas minggu kemarin. Maka, tanpa menunda-nunda aku segera membawa kertas gambarku dan membawanya ke meja dosen untuk dikumpulkan.
Setelah itu, Pak Suroto meneruskan perkuliahan. Setelah selama dua minggu menghabiskan waktu dengan berlatih menarik garis lurus di sepanjang kertas gambar - sampai tangan pegal dan mata berkunang-kunang - kami sekarang sudah memasuki tahap menyusun gubahan massa menjadi rancangan arsitektur yang inovatif.
Gubahan massa yang disusun merupakan bentuk geometri seperti silinder, elips, dan kerucut yang disatukan dengan bentuk kubus atau pun balok. Susunan itu akan membentuk wujud luar bangunan yang bernilai arsitektur tinggi.
Setelah mendengar penjelasan dari dosen, kami semua diminta untuk mulai menyusun gubahan massa kami sendiri. Dengan semangat aku mulai mengerjakannya. Akhirnya setelah hanya membuat garis sampai mata berkunang-kunang, kami mengalami kemajuan dengan mulai membuat gubahan massa yang disusun-susun menyerupai fisik bangunan, tidak lupa kami juga diharuskan membuat perspektifnya.
"Ya ampun, Alisha, gambarmu kok bulet-bulet gitu sih?" tanya Fritz pura-pura terdengar heran, membuyarkan konsentrasiku. Dasar cumi....
"Aku memang banyak memakai massa silinder," jawabku tidak mau ambil pusing dengan ledekan cowok usil itu.
"Ini pasti bangunan TK ya!" lanjut Fritz lagi masih belum puas meledekku. Ya Tuhan, kenapa Kau harus menciptakan manusia seperti dirinya?
"Abang Fritz, kamu tukang bully, ya?" protesku merasa kesal juga.
Fritz sempat memasang wajah kaget, "Kenapa manggil aku abang? Emangnya aku abang tukang bakso," ucapnya lebay. Tapi kemudian dia terkikik kegirangan, mungkin karena berhasil membuatku kesal, "Gambar kamu bagus, kok!" ucapnya. Dia tersenyum padaku.
Fritz tersenyum padaku. Matanya yang jernih dan lembut menatap lurus ke dalam mataku, membuat wajahku langsung terasa panas. Refleks, aku langsung memalingkan wajah, "Kalau begitu jangan iseng aja!"