"Bah, bolehkah aku masuk ke kamar itu? Seingatku, hanya satu ruangan yang belum dibersihkan semenjak kita pindah ke sini."
Nara meletakkan sendok dan garpu di piring, lalu melirik pintu cokelat yang tertutup rapat. Namun, benturan peralatan makan memaksanya mengalihkan pandangan. Lagi-lagi sorot mata tajam yang dia dapat.
"Jangan pernah mendekati tempat itu, apalagi mencoba memasukinya! Paham?"
Kepalan tangan Dani semakin menonjolkan urat-urat ke permukaan kulit. Membuktikan bahwa Dani siap meninju, meski tangannya telah mengeriput. Siapa pun yang melihat pasti bergidik ngilu.
Suasana sejenak tampak kaku, hanya terdengar suara jarum dari sang waktu. Nara yang duduk di hadapan Dani, meremas jalinan jemari kuat-kuat. Sayangnya, sekuat apa pun dia meremas, tidak cukup untuk menghentikan gemetar pada tubuhnya. Dia hanya bisa menunduk lesu dengan sesal menjejal kepala.
Dani mendeham setelah mengelap sudut bibir dengan tisu. "Abah pulang larut malam ini. Jangan menunggu ... pesanlah makanan yang kamu mau!"
Lelaki yang telah berkemeja rapi beranjak, meskipun menyisakan setengah makanan yang masih tertata di piring. Sempat menghentikan langkahnya di depan pintu, tetapi Dani kembali berderap meninggalkan Nara yang masih terpaku.
***
Kejadian tadi terus saja berputar di kepala gadis berjilbab panjang. Terekam jelas bagaimana sikap Dani yang terlampau marah. Seperti pagi-pagi sebelumnya, lelaki yang tidak pernah menampakkan senyum selalu bertingkah sama, pergi selepas meluapkan kemarahannya.
Hari ini keberuntungan seolah-olah berpihak pada Nara. Satu pohon Pucuk Merah mengalihkan perhatian. Pohon yang masih berukuran sedang berhasil memecah fokusnya saat berjalan di trotoar.
Semua permasalahan sekejap menguap setelah dia mendekati pohon secara perlahan. Namun, sisa air di sudut matanya nyaris terjatuh. Dia buru-buru menyeka ketika menengadah, lalu mengamati kemerah-merahan dedaunan yang tumbuh tepat di atas kepala. Sejurus kemudian segaris simetris dengan dua lesung pipi terlukis manis di wajahnya.
Gadis itu memejamkan mata ketika sang bayu menggerakkan reranting kecil. Embusannya mengisi alveolus setelah dia menghirup dalam-dalam. Tanpa membutuhkan waktu lama, sesak yang dirasa berubah menyejukkan.
Menikmati kesegaran udara memang mengasyikkan, tetapi juga bisa membuat seseorang melupa. Nara pun sama, lupa bahwa kini sedang berada di pinggir jalan, bahkan dia tidak menyadari sepasang mata sedari tadi telah mengawasi.
"Apa ada sesuatu di sana? Mungkinkah Abah melakukan ritual? Rasanya tidak mungkin! Atau jangan-jangan ada mayat di kamar? Astagfirullah ... come on, Ra!" bisiknya seraya memukuli kepala.
Tiba-tiba pergerakan tangannya terhenti setelah menyentuh sesuatu. Satu, dua, tiga kali dia mencoba meraba. Sungguh menggelikan saat benda berada dalam genggaman. Teksturnya yang kenyal dan berbulu memenuhi semua permukaan jemari dan telempap. Meski ragu, pada akhirnya dia membuka mata.
Benar saja. Dia berteriak setelah tahu makhluk apa yang berada di dalam tangan. Ya, ulat bulu. Satu-satunya serangga kecil yang selalu dihindari. Takut bercampur geli dirasakan Nara ketika ulat bulu masih menempel, padahal sudah berulang kali mengibaskan tangan.
Tersebab panik dia pun berlari, lalu menyeberang jalan tanpa menengok kanan dan kiri. Sayangnya, dari arah kanan pengendara motor melaju kencang secara bersamaan. Begitu cepat, Nara telanjur berada di tengah jalan, pun pengendara kesulitan menurunkan laju motornya.
Nara hanya mematung. Kedua netranya terpejam seiring suara klakson membaur dengan teriakan. Namun, seseorang menarik tangan Nara tepat saat jarak motor nyaris beberapa inci dari tempat keduanya. Pengendara motor terpelanting setelah berusaha mengerem, sedangkan Nara dan pemuda terjatuh ke pinggir jalan.
Pejalan kaki yang kebetulan berada di sekitar lokasi mengerumuni, meski tidak ada satu pun dari mereka yang berani menyentuh keduanya. Nara syok, tanpa sadar tubuhnya masih menimpa lengan kanan pemuda. Makian dari pengendara motor tanpa henti menyudutkannya. Dia bergeming bersamaan dengan wajah mendadak memucat.
Nara mengerjap, lalu menatap pemuda di hadapan. Iris matanya mengingatkan pada seseorang. Belum tuntas meredam degup di dalam dada, kini Nara justru berdebar makin tidak karuan.