"Entahlah ... aku ragu, Lis."
Dani menatap nanar teh yang masih mengepulkan asap. Seperti mati rasa, jarinya memutar-mutar bibir cangkir tanpa merasa panas. Lelaki yang tidak pernah menanggalkan peci saat mengajar kian menyadari. Kini pikirannya menumbuhkan dua cabang yang berseberangan. Satu cabang mengiakan, sedangkan cabang lain menolak perkataan wanita yang fokus dengan berbagai buku di meja.
"Nara sangat berbakat, Dani. Jangan pernah mengekang kemampuannya!"
Lisa menghentikan aktivitasnya, lalu duduk di dekat Farhan--suaminya--setelah menutup dan menyimpan buku di rak. Wanita yang masih tampak memesona dengan riasan sederhana menyunggingkan senyuman. Tidak mudah meyakinkan Dani, tetapi dia yakin dapat menggoyahkannya, meski harus memupuk asa sepanjang masa. Dia akan selalu membujuk selama tidak melampaui batas.
Anggap saja semua ini adalah cara dia berbalas budi pada keluarga Dani. Atas kejadian berpuluh-puluh tahun silam. Bayangan kelam yang enggan lepas dari ingatannya.
Dia tidak akan pernah lupa bagaimana sikap para saudaranya. Baik dari keluarga ibu maupun bapak. Namun, dia amat beruntung. Tatkala orang tua Dani memberi uluran tangan saat tidak ada satu pun dari mereka yang mau menerima dan menjaganya. Orang tua Dani-lah yang melimpahkan kasih sayang ketika mereka menjual rumah dan kebun miliknya.
Dia tahu kenangan Dani amat jauh berbeda. Peristiwa delapan belas tahun lalu mungkin saja sangat menyiksa, apalagi sampai kehilangan nyawa orang tercinta. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, Dani benar-benar terpuruk pada waktu itu. Namun, rasanya tidak adil, bukan? Jika hanya menyesali tanpa membangkitkan diri.
Gerakan jari Dani tiba-tiba berhenti. "Tapi--"
"Jadikan pembelajaran hidup. Nara sangat istimewa, Dani. Aku harap masa lalu tidak mengubur impiannya," potong Lisa sebelum Dani menyelesaikan ucapannya.
Dani bergeming. Diam adalah salah satu upaya dalam menjaga kewarasannya.
"Tolong percayalah, Dani! Putraku akan menjaganya di sana. I promise!" pinta Lisa seraya mengeratkan genggaman tangan.
Udara di ruangan terasa lebih dingin, padahal pendingin ruangan sudah dimatikan. Tegang disusul canggung kentara di wajah keduanya. Farhan yang sejak tadi hanya mendengarkan percakapan, dengan lembut mengusap punggung Lisa. Harapannya hanya satu, mampu meredakan gejolak dalam hati sang istri.
Lisa menyodorkan bingkisan yang sedari tadi berada di meja. "Oh, ya. Ini untuk Nara. Kamu akan tahu seberapa hebat kemampuannya."
Dentingan kunci terjatuh mengusik renungan Dani. Kunci yang berada dalam genggaman terlepas kala Dani menikmati buaian angan. Dirinya kembali tersadar seiring dengan menganjur napas dalam, berharap kali ini keputusannya tepat. Jarum jam telah menunjuk angka sepuluh, Dani pun melangkah setelah memasukkan benda itu ke saku celana.
***
Gelisah. Begitulah yang kini tengah dirasakan Nara. Dua buku tergeletak di meja penyebabnya. Dia dihadapkan dengan dua pilihan, antara membaca isinya atau justru mengembalikan ke tempat semula.
Gamang dan penasaran berpadu menjadi satu di pikirannya. Dia seolah-olah memberi jeda waktu, meski sekadar membuka buku.
Suara ketukan pintu mengejutkannya. Nara menghentikan gerakan tangannya, lalu menyimpan kedua buku dengan tergesa-gesa, menyisakan sehelai kertas yang harus ditandatangani orang tua.
Pintu pun terbuka. Menampilkan Dani yang masih mengenakan kemeja kerja. Dani memasuki kamar, lalu duduk di tepi ranjang. Rutinitas yang selalu dilakukan setiap malam, sebelum Dani beristirahat. Baik hanya perbincangan biasa maupun perihal kabar Nara, terlebih saat ini sang gadis bersekolah di tempat yang berbeda dengan tempatnya mengajar.
Nara memutar kursi hingga posisinya berhadapan dengan Dani. "Bah, tadi aku lihat kunci--"
"Kamu membukanya?" potong Dani dengan meninggikan suara.
Nara tersentak bersamaan dengan terkumpulnya cairan di pelupuk mata. Entah sudah berapa kali Dani membentaknya. Dari kecil hingga sekarang, sikapnya selalu sama. Tiba-tiba membentak, lalu sepersekian detik berubah melunak. Ah, ironis, bahkan hingga kini Nara tidak pernah tahu alasan Dani bersikap seperti itu.
"A-ku pikir ada di dalam, Bah," ucapnya parau.
Nara kembali memutar kursinya menghadap meja, kemudian menyeka air yang keluar dari sudut mata.
Dia meraih selembar formulir yang telah diisi, lalu menyodorkannya. "Bah, boleh aku ikut klub pastri? Kalau boleh, aku minta tanda tangannya di sini," tutur Nara lembut.
Dani mengambil formulir dan langsung menandatangani. "Apa kamu suka sekolah di sana, Ra?" tanya Dani tanpa menatap lawan bicara.