Pelabuhan Gilimanuk, Bali
Aroma laut yang menggantung di atas riak – riak ombak perairan selat, memadati saraf penciuman Indrajaya Permana, yang tengah berdiri termangu, di atas kapal penyeberangan pelabuhan Ketapang-Gilimanuk. Tubuh jangkung tegapnya melengkung bak busur, menyandar santai pada pagar besi putih kusam yang mengular di sepanjang geladak. Sepulas senyum samar melengkung di bibirnya kala memandang pucuk gunung sakral pulau dewata di kejauhan, yang dipayungi arakan awan – awan seputih kapas yang melaju malas.
Punggung Indra perlahan menegak, kedua tangannya meraih kamera yang tergantung di lehernya. Dia membidik, lalu memerangkap bentangan panorama suargaloka di hadapannya ke dalam lensa 50mm, dalam satu ayunan yang cekatan dan halus. Indra mengabadikan gambar beberapa kali lagi, sebelum menurunkan kameranya dan bergabung dengan arus manusia yang berduyun – duyun menuruni titian kapal penyeberangan yang telah sandar.
Hembusan angin segar langsung menyambut Indra, di saat pertama kakinya menjejak ke dermaga. Sejenak kemudian kelopak matanya terpejam, dadanya mengembang, menghirup dalam - dalam udara kebebasan yang sudah lama dia dambakan. Tiga puluh delapan jam perjalanan ditempuhnya, demi terlepas dari kungkungan hidup di kota metropolitan bernama Jakarta. Lembaran kisah suram itu sudah tertinggal ribuan kilometer jauhnya di belakang. Kini, lembaran baru akan dimulai. Awal dari sebuah babak. Babak yang berisikan mimpi - mimpi seorang Indrajaya Permana.
***
BAYANG-BAYANG dedaunan pohon – pohon perindang yang tumbuh di sepanjang pedestrian kawasan Legian, menaungi para pejalan kaki dari teriknya matahari siang itu. Celoteh ramai para turis sahut menyahut dengan deru kendaraan yang lewat dan seruan para pedagang yang menjajakan aneka barang kerajinan warna warni yang tumpah ruah. Semuanya begitu semarak, begitu meriah, begitu…hidup.
Indra mencerap dan menghayati betul – betul segala letup euforia itu, selagi kedua tungkainya melangkah santai menyusuri deretan pertokoan. Atmosfer kegembiraan di sekitarnya seolah membangunkannya dari kebosanan akut yang selama ini membelenggu.
Di depan sebuah bangunan tua bercat putih bersih, Indra berhenti. Dia mendongak, menatap papan nama dengan huruf – huruf meliuk: KANCA LAWAS HOMESTAY. Dengan senyum yang tersungging lebar, Indra melangkah masuk.
Lobi penginapan kecil itu sepi dan lengang. Sofa kulit antik dan kursi – kursi rustic yang biasanya dipenuhi tamu juga tampak kosong. Tak ada yang bergerak, kecuali helai – helai daun lebar tanaman tropis dalam pot – pot tanah liat di sudut ruangan, yang bergoyang pelan dihembus kipas angin tua yang menempel di langit – langit.
Indra mendekati meja resepsionis lalu menekan bel di atas meja. Bel kuno itu berdenting nyaring memecah kesunyian lobi. Sejurus kemudian, tirai kerang di dinding di belakang meja resepsionis berderik dan menyibak. Dari baliknya, seorang pria paruh baya berperawakan kurus dengan kulit sawo matang muncul, dengan sedikit tergesa merapikan udeng putih bersih di kepalanya.
“Welcome to Kanca—” sapaan pria itu berhenti di tengah jalan, ketika melihat Indra yang berdiri di hadapannya. “Oalah!” pria itu terkekeh. “Indra! Cah bagus! Piye kabare toh?”
Indra tertawa sambil mengulurkan tangannya. “Baik, pak. Pak Komang sendiri apa kabar?”
Komang menyambar tangan Indra, menjabatnya erat penuh antusias. “Apik!” Komang tersenyum lebar, memamerkan deretan geliginya. “Kejutan banget lho. Ngapain toh kamu ke sini?”
“Ya mau nginep lah pak.” sambar Indra.