LOVE IN QUARANTINE
(Amnesia Retrograde)
Tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya pernikahan kami yang baru seumur jagung di guncang cobaan yang begitu besar, kecelakaan beruntun di Tol Tebing Tinggi menuju Medan telah membuat orang yang paling aku cintai berada dalam keadaan kritis, hidup dan mati nya bergantung pada alat bantu yang di pasang hampir diseluruh bagian tubuh nya. Aku hanya punya Kau ya Allah yang dapat membuat keajaiban dalam kehidupan ini. Jika salah satu keajaiban itu adalah membuat istri ku berhasil melewati masa kritis nya dan sadar aku berharap keajaiban itu kau berikan pada kami.
Aku mengabari kembali kabar duka ini kepada seluruh anggota keluarga kami yang telah lebih dulu sampai di Jakarta. Mereka pulang sehari sebelum kecelakaan naas itu terjadi. Sebenarnya kami akan pulang ke Jakarta bersamaan, setelah menghadiri pernikahan sepupu ku di Tebing Tinggi. Tetapi entah mengapa Ai istri ku mengajak ku untuk pulang ke esokan hari nya saja setelah kami mengunjungi salah satu sahabat nya yang menetap di kota Medan setelah menikah. Dalam perjalanan menuju kota Medan kami mengalami kecelakaan beruntun, mobil yang dikendarai oleh salah satu sepupuku menabrak mobil yang ada di depan nya setelah mobil tersebut mengerem mendadak. Aku terpental dan tidak sadarkan diri, setelah aku tersadar aku sudah berada di salah satu rumah sakit di kota Medan. Kondisi ku tidak separah sepupuku dan Ai. Sepupu ku mengalami patah tulang selangka dan masih belum sadarkan diri begitupun Ai mengalami patah tulang paha dan ada benturan keras di kepala nya yang membuat darah menggumpal di bagian kepala belakang nya yang membuatnya kritis dan belum sadarkan diri.
Aku hanya mengalami luka gores sedikit di pelipis mata, tidak ada patah tulang sama sekali hanya sedikit sakit di bagian kepala dan pundak, mungkin penyebabnya karena aku terlempar keluar dari mobil pada saat kecelakaan itu terjadi. Aku memandangi Ai yang masih belum memperlihatkan tanda – tanda perbaikan kondisi begitupun sepupuku Anwar. Rasa nya hari ini begitu panjang menunggu sampai besok tiba, aku tidak meninggalkan Ai barang sedetikpun, mata ku selalu mengawasi monitor yang menghitung detak jantung nya yang terkadang melambat dan cepat dalam waktu yang berdekatan. Karena kondisi ku yang tidak parah aku tidak dirawat seperti Ai dan Anwar. Beberapa saudara ku sudah datang ke rumah sakit dan membantu menjaga serta mengabari kondisi Ai juga Anwar pada saat aku menunaikan sholat. Hanya pada saat menghadapMU ya Rabb ku titipkan Ai dalam penjagaan keluarga ku.
Sudah dua hari setelah kecelakaan itu, dan Ai masih belum menunjukan tanda – tanda akan sadar dari tidur nya. Berbeda hal nya dengan Anwar, ia sudah siuman meskipun dengan kondisi yang masih sangat lemah. Aku masih berharap agar Ai segera siuman seperti Anwar sepupuku. Aku masih menanti keajaiban dari doa – doa yang ku panjatkan selepas sholat.
Dari jauh kulihat dokter berjalan ke arah ku yang baru selesai menunaikan ibadah sholat ashar. “Pak Zubi.. ini hasil dari CT scan kepala yang kedua kali nya pak. Bisa bapak keruangan saya..?” Ia berlalu dari pandangan ku menuju ruangan nya. Aku tahu ada yang tidak beres dengan hasil CT Scan kepala Ai, tampak dari wajah nya ia berharap aku tidak menaruh harapan besar kali ini. Ku ikuti langkah nya menuju ruangan kantor disudut ruangan ICU rumah sakit, rasa nya kaki ku tidak menapak di keramik rumah sakit ini, semuanya terasa begitu ringan dan senyap untuk ku bisa pahami keadaan ini.
“Silahkan duduk pak..” Dokter lelaki nan ramah ini mempersilahkan aku duduk dan mulai mengeluarkan hasil dari CT Scan kepala Ai. “Begini pak, untuk kondisi istri bapak hari ini sudah lebih baik dari dua hari yang lalu, dan kita tim dokter memutuskan untuk mengoperasi bagian tengkorak belakang kepala istri bapak untuk mengeluarkan gumpalan darah yang menyumbat disana. Paling cepat besok pagi operasi nya akan kita lakukan pak, jika bapak menyetujui prosedur operasi nya.” penjelasan dokter barusan membuat ku tertunduk lemas. Apakah harapan ku akan kesembuhan Ai sudah pupus jika saja operasi ini gagal. Aku tidak berani menanyakan hal itu pada dokter, seberapa besar kemungkinan operasi ini akan gagal..? aku masih diam membisu tanpa bisa memberikan jawaban apapun malam itu.