Ku pandangi wajah nya yang ayu saat tertidur, coba ku dekatkan wajah ku ke wajah nya dan berharap ia tidak terbangun karena itu. Tetapi dugaan ku salah, Ai terbangun dan lagi – lagi mendorong ku menjauh. “Mana mama ku...? kau ini siapa..?” Ai justru ketakutan saat wajah ku ku dekat kan ke wajah nya aku persis seperti orang asing baginya. Tiba – tiba suara mama menyahut di pintu depan kamar. Mama mertua ku setengah berlari memeluk putri nya yang terbangun dari koma selama lebih kurang empat bulan.
Ai yang dengan kondisi patah tulang masih belum mampu untuk menarik badan nya memeluk balik ke arah datang nya mama mertuaku. Mama memeluk nya erat, mengusap dahi dan menciumi pipi anak bungsu nya itu. “Ai... mama sayang Ai nak, Ahamdulillah Ai sudah siuman..” mama mertuaku memeluk putri nya erat begitupun kakak nya. “Bersyukur kamu punya Zubi yang empat bulan ini selalu jagain kamu. Maha baik Allah kasih kamu suami kayak Zubi yang sabar banget telaten ngurusin kamu selama koma..” Kak Eva membuka cerita tentang ku pada Ai, mereka belum aku beritahu kalau Ai mengalami Amnesia Retrograde yang membuat nya tidak mengingatku sama sekali. Ai mendengar cerita dari kakak nya melihat ku dengan wajah heran. Mama mertua ku menatap Ai dan aku yang sedang beradu pandang.
“Kapan Ai menikah ma..? dia suami Ai..? ia masih belum percaya jika aku adalah belahan jiwa nya, suami yang menikahi nya sepuluh bulan lalu. Yang menjaga nya penuh harap selama empat bulan ini. Mama mertuaku mulai menyadari ada yang salah dengan kondisi Ai, begitupun dengan kakak ipar ku, mereka melihat ke arah ku dan menagih penjelasan atas apa yang terjadi sekarang. “Iya sayang, Zubi ini suami Ai... sudah sepuluh bulan Ai menikah dengan Zubi..” Mama mertuaku menjelaskan kepada Ai siapa aku baginya. Ia melihat ke arah ku dengan tatapan masih tidak percaya jika ia sudah menikah. “Ai masih tujuh belas tahun ma, Ai masih sekolah kan ma..? kenapa Ai sampai menikah..?” Pertanyaan itu bertubi – tubi ditanyakan Ai pada mama nya. Mama mertua ku mengusap air mata di pipi nya dengan lembut ia menatap putri bungsu nya itu. “Sekarang umur Ai sudah dua puluh enam tahun nak.. Ai sudah selesai kuliah dan bekerja sayang..” di peluk nya erat putri nya itu. Kakak ipar ku masih menatap ku penuh dengan tanda tanya.
Aisyah istri ku, ia terdiam memaku mendengar penjelasan dari mama nya. “Kenapa Ai lupa kalau pernah menikah ma..? kenapa Ai lupa kalau punya suami..? Tiba – tiba Ai menutup mata nya seperti pingsan. Mungkin ia terlalu memaksakan diri untuk mengingat apa yang terjadi dalam sepuluh bulan terakhir dalam hidup nya. Aku berlari bergegas memanggil Dokter untuk memeriksa bagaimana kondisi Ai setelah ia mendegar fakta tentang aku dari mama nya dan jatuh pingsan. Dokter menjelaskan pada mama mertua dan kakak ipar ku terkait kondisi Ai saat ini dan alasan mengapa kami tidak boleh memaksakan Ai untuk mengingat ingatan nya yang hilang itu. Karena hal – hal seperti ini akan terulang dan mungkin akan fatal akibatnya, sewaktu – waktu pembuluh darah di otak Ai bisa pecah jika terus di paksa untuk mengumpulkan informasi dari masa lalu nya.
Mama mertuaku memeluk ku erat. Ia tahu bagaimana beban bathin yang ku tanggung saat ini. “Kamu yang sabar ya Bii.. sama – sama kita berdoa semoga ingatan Ai tentang kamu bisa segera pulih..” Ia menyemangati ku yang tertunduk lesu. Kakak ipar ku kembali menguatkan dengan menggenggam tangan ku. “Kamu harus bisa merebut hati nya lagi dek...” suara nya berat menahan tangis. Tak lama berselang ibu ku pun sampai di sini. Aku menceritakan tentang apa yang terjadi pada Ai, ibu memeluk ku erat dan mengusap air mata sendu yang ku tahan sejak tadi. “Ibu harap kamu bijaksana dalam menghadapi situasi ini Bii, ibu selalu berdoa yang terbaik untuk kalian berdua.” Raut muka penuh harap terpancar di wajah ibuku. Ia optimis jika Ai akan segera mengingat kenangan kami sewaktu bersama dulu.
Malam ini sama seperti malam – malam empat bulan yang lalu, aku mengadukan apapun yang kurasakan pada Maha pemilik kehidupan ini. Aku meminta diberikan kekuatan dalam menjalani apa yang harus aku jalani sekarang. Aku menangis di sajadah hadiah ulang tahun pemberian Ai tepat sepuluh bulan lalu setelah satu hari pernikahan kami. Sangking lelah nya aku tertidur di atas sajadah itu. Satu suara sayup – sayup ku dengar, kau harus menaklukan hati nya lagi, jangan cengeng dengan menangisi kisah ini tetapi kau harus berjuang untuk cinta itu lagi sampai kau jadi pemenang nya. Sesaat setelah itu aku terbangun dan mulai meresapi kalimat yang sayup – sayup sampai ku dengar tadi dalam tidur ku yang belum sepenuhnya lena.
Dan malam itu ku mantapkan hati untuk merebut kembali cinta Aisyah istri ku dari Amnesia Retrograde yang menghapus kenangan ku dalam ingatan nya. Aku tidak boleh kalah oleh Amnesia Retrograde yang dialami Aisyah. Ku cari foto – foto lama kami dari galeri ponselku, ku atur dalam satu tempat penyimpanan agar aku dengan mudah dapat mengakses nya jika diperlukan. Saat subuh menjelang ku lihat Ai masih tertidur pulas di tempat tidur nya begitupun ibu ku dan mama mertua ku serta kakak ipar ku yang masih tertidur di extra bed yang di khususkan untuk orang – orang menunggui pasien. Ku tatap wajah ayu Aisyah dalam – dalam dan berjanji dalam hati mulai hari ini sampai nyawa ini diambil aku akan rebut cintamu lagi dari Amnesia Retrograde yang memisahkan kita saat ini.
Sudah hampir sebulan Ai bangun dari koma nya, dan kondisi nya sudah semakin baik tetapi karena masih menjalani beberapa fisio theraphy Dokter belum memperbolehkan nya pulang untuk rawat jalan. Kami masih tinggal di bilik rumah sakit ini mungkin untuk beberapa minggu ke depan. Dari hari aku berjanji untuk merebut hati Aisyah kembali, aku memulai semuanya dari nol lagi persis seperti saat mengisi bahan bakar di pom pengisian bahan bakar. Kita mulai dari Nol ya pak, tak masalah buat ku asal ini semua dapat mengembalikan kekasih hati ku dalam dekapan ini.
Dekapan yang sudah hampir setahun ku rindukan dari Aisyah. Dulu setiap bangun pagi untuk sholat subuh, Ai akan menempelkan wajah nya di wajah ku dengan berulang kali mengecup kening, pipi, hidung sampai akhirnya aku pun terbangun dan melaksanakan sholat subuh berjamaah bersamanya. Ritual pagi itu hampir setahun ini tidak pernah lagi aku alami semenjak kecelakaan naas waktu itu. Aku berharap akan bisa mendekap kembali Ai seperti dulu dalam tidur nya.
Kami memulai langkah di bulan April dengan riang gembira, karena bertepatan dengan bulan kelahiran Aisyah, sebelas April adalah hari ulang tahun nya tentu saja aku ingat dia adalah istri ku meski sekarang dia belum mengenaliku tapi tak mesalah selagi aku masih bisa bersamanya. Aku tidak sabar ingin mengejutkan nya dengan memberikan sebuah kado yang akan membuatnya bahagia. Meskipun hari – hari yang kami lewati masih seputaran theraphy dan rumah sakit, tetapi kami menikmati setiap momen nya. Ai tidak lagi seperti di awal saat ia sadar dari koma nya, ia menolak ku seperti orang asing, meski sekarang ia belum bisa menerima ku penuh tetapi dia tidak menolak bantuan ku untuk menemani nya dirumah sakit menjalani theraphy dan pengobatan karena setelah seminggu di Medan ibu dan mama mertua ku memutuskan untuk kembali ke Jakarta, karena Ai menerima tawaran ku untuk menemani nya selama disini menjalani perobatan dan theraphy tanpa harus membebani orang tua kami yang sudah tidak muda lagi atas pertimbangan itu ia menerima kehadiran ku.