“Ai, sebelum aku mulai cerita, aku mau minta maaf dulu sama kamu.” Ku raih tangan nya, mimik muka nya kebingungan sampai – sampai ia membiarkan saja aku menggapai tangannya tanpa canggung seperti biasa bahkan aku sampai lupa mengatakan kalau besok adalah ulang tahun ku yang ke tiga puluh satu, ya.. perbedaan umur kami terpaut empat tahun saja. “Loh, kenapa minta maaf..?” ia menelisik sikap ku padanya sore menjelang maghrib itu. “Karena aku memilih untuk tidak menceritakan ini pada Aisyah yang dulu, seharusnya kamu berhak tahu dari dulu Ai.” Aku menunduk di hadapan Aisyah , tetapi kata – kata nya kali ini membuat ku merasa semakin bersalah. “Mungkin karena itu Allah ambil ingatan aku tentang kamu Bii, dan Allah kasih kamu kesempatan baru untuk menjadi orang yang baru buat aku.” Jawabannya justru membuatku merasa semakin bersalah.
Apa mungkin Allah menghukum ku atas ketidakjujuran ku di masa lalu, yang membuat Aisyah harus menanggung kecelakaan yang hampir merenggut nyawa nya itu dan mengambil ingatan nya tentang aku dan kehidupan pernikahan kami, bahkan bukan hanya tentang aku tetapi tentang hidup nya sendiri, hanya untuk membuatku menjadi pribadi baru yang lebih jujur, lebih terbuka dengan istri ku sendiri. Dimana aku adalah pakaian nya dan Ia adalah pakaian ku, setelah ijab kabul hari itu seharusnya tidak ada sekat kebohongan diantara kami, seharusnya tidak ada rahasia demi rahasia lagi diantara kami berdua.
“Kamu kenapa..? aku penasaran sama ceritanya, ayoo lanjutin.. malah bengong gitu.” Aisyah sudah tidak sabar mendengar kisah itu dari mulutku, dari aku suaminya yang tidak pernah mengatakan kisah itu kepadanya dahulu, kisah yang seharusnya menjadi bagian masa laluku yang Aisyah berhak tahu. “Aku minta maaf Ai,”. Ku ucapkan kata maaf itu lagi sebelum memulai menceritakan kisah panjang nan kelam itu pada Aisyah.
Sebelum aku dan Aisyah mengenal satu sama lain, dahulu nya aku adalah pecandu kelas berat, aku tidak ingat entah darimana awalnya aku bisa kenal dan akrab dengan barang haram itu. Ibu adalah orang yang selalu ada buat ku ,baik itu saat aku terpuruk dan berusaha untuk bangkit lagi dan punya kehidupan baru. Aku jatuh cinta pada shabu, shabu adalah cinta pertamaku waktu itu, tidak ada yang lebih penting dari itu. Aku kerja hanya untuk cinta pertama itu, tidak ada Allah dalam hidup ku tiga atau empat tahun yang lalu. Hanya ada dia cinta pertama yang menyesatkan ku jauh di dalam jurang kehancuran bahkan maksiat.
Nasehat ibu seperti lagu lama buatku saat itu yang tidak enak untuk di dengar, air mata kadang jatuh di pipi nya, aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak lelaki ku tidak pernah diberi tahu ibu perihal ini sampai aku kalah bertarung dengan cinta pertamaku dan masuk panti rehabilitasi narkoba. Hari itu kakak lelaki ku datang, tidak seperti orang lain yang pernah menceritakan kisahnya padaku. Keluarga mereka seperti jijik, takut, malu untuk datang ke panti rehab mengunjungi keluarga atau sanak saudara nya yang tumbang diperalat cinta pertamaku. Justru abang ku datang dan langsung memeluk ku erat air mata nya jatuh di bahuku, tidak ada amarah di wajah nya, begitupun ibu. Tidak ada rasa jijik, amarah, malu yang terpancar di wajah itu. Hanya raut wajah penuh kesedihan dan kecewa yang tampak di wajah abangku Bardi dan ibu yang tidak henti – henti nya meneteskan air mata.