Love In Quarantine (Amnesia Retrograde)

Fitri Handayani Siregar
Chapter #8

#8 Aku Masuk Panti Rehabilitasi Narkoba

Selama ini tidak pernah kak bardi memainkan raut wajah seserius hari ini. aku bertanya –tanya dalam hati, kesalahan apa yang telah aku perbuat beberapa hari terakhir ini ya..? ku coba untuk mengingat – ingat kegiatan ku tiga hari belakangan, rasa – rasa nya tidak ada yang salah., batinku. Tapi mengapa aku ditempatkan disituasi ini oleh kak bardi dan ibu..? apa aku akan di antar kembali ke panti rehab..? pertanyaan – pertanyaan itu bermain liar di fikiran ini.

“Jadi, setelah tiga hari ini abang dan ibu lihat perkembangan kamu dirumah, abang dan ibu mutusin untuk balikin handphone sama laptop kamu Bii, abang dan ibu berharap kamu bertanggung jawab dengan kepercayaan yang udah kita kasih.” Ia menutup rasa penasaran ku dengan klimaks dan membahagiakan, betapa beruntung nya aku Ibu dan Kak Bardi mulai pelan – pelan mempercayaiku lagi. Jalan menuju dunia luar sudah dekat dari jangkauan ku, seakan – akan berada dalam genggaman tanpa aku harus kemana – mana. Ini artinya aku bisa terhubung kembali dengan teman – teman masa lalu yang sama sesat nya dengan ku waktu itu.

Cobaan nya jauh lebih besar daripada waktu awal aku di panti rehabilitasi. Sekarang untuk mengingat cinta pertama ku S saja rasanya aku tidak ingin, dia sudah kulupakan seperti mantan yang tidak perlu di kenang karena seindah apapun mantan dan seindah apapun kisah nya ia tetap mantan yang tak perlu lagi ada di masa depan. “makasih buk, bang sudah mempercayai Zubi lagi, terimakasih juga sudah menerima Zubi kembali”.  ku peluk ibu yang duduk tepat di sebelah ku. Hangat air mata nya jatuh di pipi ini, “anak bagi ibu nya itu ibarat doa yang nafas nya tidak putus sampai ajal nanti nak, yang perlu Zubi ingat semua yang kita kerjakan, lafazkan, ucapkan, lakukan di dunia ini harus kita pertanggung jawab kan nak.” Ibu mengusap kepala ku lembut, di peluk nya aku erat. “dalam sujud ibu selalu ada Zubi dan bang Bardi, ibu ingin doa kalian menjadi cahaya terang di kubur ayah dan ibu nanti.” Tangis ku pecah mendengar kata – kata ibu barusan.

Betul sekali, apa saja yang berkaitan dengan perkara duniawi, kelak akan dimintai pertanggung jawaban tidak hanya di dunia saja, tetapi di tempat abadiNya. Tempat yang sudah pasti akan kita tuju entah siapa duluan dan belakangan hanya masalah waktu saja. Ukuran nya pun tidak macam – macam, hanya cepat atau lambat. “Abang harap kamu dapat menyelesaikan kewajiban mu yang tertunda, pekerjaan mu menunggu untuk di selesaikan. Jadi pribadi yang baru yang bisa abang dan ibu banggakan Bii..” Kak bardi menyemangati ku selayak nya mentor, sahabat, kawan, bahkan ayah. Ia sudah menunaikan kewajiban nya dengan menjadi pengganti ayah dirumah ini. Ia berhasil mengurus aku dan ibu dengan baik.

Aku tidak dapat berkata – kata malam itu, keharuan menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Aku bertekad dalam hati tidak akan mengecewakan mereka lagi. Ku buka ponsel ku yang baru saja dikembalikan ibu dan kak Bardi, bunyi pesan masuk tidak terhitung lagi berapa jumlahnya. Panggilan masuk yang berkali – kali dari nomor yang sama. Yang tidak ada nama kontak nya di ponsel ku, aku bertanya dalam hati siapa yang menghubungiku berkali – kali dari tiga bulan yang lalu sampai terakhir seminggu yang lalu. Ku buka pesan masuk yang bertubi – tubi di aplikasi WhatsApp tetap dari nomor yang sama. Ku lihat foto profil nya, sepertinya aku pernah melihat perempuan ini, tapi aku lupa dimana. Ada apa sampai dia menguhubungi ku berkali – kali bahkan beratus kali sejak tiga bulan lalu. Darimana ia dapat nomor kontak ku, rasa – rasa nya aku tidak pernah memberikan nomor ponsel ini ke perempuan yang lagi kucoba ingat siapa sebenarnya dia.

Lihat selengkapnya