Hari ini jadwal untuk melihat perkembangan kaki, lengan dan bahu Aisyah, apakah ia butuh theraphy yang lama atau hanya sebulan atau paling lama dua bulan saja. Aku dan Aisyah dihantui rasa penasaran, semoga saja hasil nya seperti yang kami harapkan. Dokter menjelaskan bagaimana kondisi tulang kaki, bahu dan lengan Aisyah pasca kecelakaan dan setelah melakukan operasi juga hasil theraphy beberapa bulan yang lalu di Medan, dan butuh berapa lama untuk kelanjutan theraphy yang akan di lakukan disini. Dokter menjelaskan jika Aisyah perlu sekitar sebulan atau paling lama dua bulan untuk dapat berjalan kembali, mungkin enam bulan pertama masih belum dapat berjalan seperti keadaan normal sebelum terjadi kecelakaan, tetapi setelah nanti sering di latih berjalan, maka akan terbiasa dengan sendiri nya. enam bulan pertama di bantu tongkat satu pegangan terlebih dahulu untuk berjaga – jaga. Setelahnya baru diperbolehkan untuk berjalan tanpa alat bantu apapun.
Mendengar penjelasan dokter itu aku dan Aisyah sangat senang dan lega, sangking senang nya aku memeluk Aisyah dan mengecup kening nya di hadapan dokter yang baru saja menyampaikan kabar gembira itu pada kami berdua. Aisyah melihat ke arah ku seolah memberitahu bahwa ada orang lain di ruangan ini selain kami berdua. Aku melihat ke arah dokter yang sudah seusia ibu ku itu dengan senyum penuh makna ia melihat aku dan Aisyah yang masih belum melepaskan pelukan kami satu sama lain. “maaf dok, maaf... saya terlalu bahagia dengernya.” Aku membela diri seolah – olah lupa kalau ada dokter di ruangan ini sangking bahagianya. Sebenarnya aku sadar betul ada dokter Nisa diruangan ini, mungkin kalau tidak di hadapan dokter aku tidak akan bisa memeluk dan mengecup kening Aisyah seperti hari ini.
“Ihhh, kamu apa – apaan coba meluk orang di depan dokter pakek kecup kening segala lagi.” Aisyah terlihat kesal saat ku dorong kursi roda nya menuju tempat kami menginap di bagian belakang rumah sakit ini yang lebih mirip cottage daripada kamar rawat. “Lah, dokter nya aja tadi gak kenapa – napa kok. Malah billang turut bahagia dan mendokan semoga kamu segera bisa berjalan normal kayak dulu lagi. Terus salah nya dimana..?” aku sengaja bertanya hal konyol ini pada Aisyah ingin melihat reaksi selanjutnya. “huftt, Ya Allah beri hamba kesabaran berlimpah.” Ai menghela nafas panjang agar diberi kesabaran berlimpah dalam menghadapi suaminya ini. Mendengar itu aku tersenyum puas sembari mendorong Aisyah di kursi roda nya.
Aisyah bertanya padaku kemana Ita, dia tidak melihat keberadaan gadis itu mulai tadi pagi, “mungkin menemani ayah nya theraphy.” Jawab ku dari dalam kamar, meninggalkan Aisyah yang duduk di kursi roda nya yang berada di beranda depan. “iya juga ya,” Tak lama setelah Aisyah bertanya tentang keberadaan Ita dan Ayah nya, sayup – sayup ku dengar mereka sedang berbincang diluar sana, dari suaranya itu seperti suara Ita. Aku sedikit lelah hari ini, entah lah aku tidak tahu pasti apakah lelah atau memang suasana disini yang asri dan sejuk yang memanjakan mata ini untuk cepat – cepat tenggelam dalam lelap. Aku membiarkan Aisyah dan Ita mengobrol di luar sana sementara aku tak tahan lagi diserbu kantuk di jam – jam krusial antara pukul satu dan dua siang.
Aisyah membangunkan ku lembut, adzan Ashar sudah berkumandang di langit Bukit Tinggi. Hampir dua bulan rasanya aku tidak pernah melaksanakan ibadah sholat berjamaah lagi di Mesjid sejak Pandemi Covid 19 ini di dengungkan. “udah adzan..?bangun Bii..”bisik nya lembut di telingaku. Ku raih tangan nya, “Iya denger..” jawab ku lembut sambil ku tatap wajah nya sebentar dan beranjak dari tempat tidur. Ku tunaikan kewajiban ku sebagai hamba hari ini, dengan Aisyah yang menjadi makmum di belakang ku sholat Ashar diatas kursi roda nya. Seusai sholat Ashar, ku dengar Ita memanggil – manggil Aisyah dari depan beranda kamar nya. “Un...Un.. Uni Aisyah.. Uni masih tidur..?” ku buka pintu kamar kami yang di susul Aisyah dengan masih menggunakan mukena, aku pun masih belum berganti pakaian baju koko hijau dan peci berwana hitam masih tersemat di kepalaku.