Ku pandangi Aisyah yang masih takjub melihat pemandangan kota Bukit Tinggi dari pelataran jam Gadang yang menjadi icon kota ini. Sepertinya ia sadar sedang kupandangi, ia menatap ku yang ketahuan sedang mengaguminya. “Lagi liatin apa..?” Ia menanyakan sesuatu yang ia sudah tahu jawaban nya. Tentu saja aku lagi memandangi wajah istri yang ku rindukan ingin bermanja – manja di pangkuan nya. “Lagi liatin kamu.” Ku tatap ia tanpa berkedip sedikitpun. “Kalimat apa yang kau ucapkan padaku waktu pertama kali kita memutuskan untuk jadi sepasang kekasih..?” tiba – tiba saja ia menanyakan hal itu, tentu saja aku masih mengingat nya dengan baik. “Aku rasa kita lebih cocok jadi pasangan daripada teman Ai..? kamu mau menjalin hubungan yang lebih serius ke depan nya dengan ku..?” ia yang mendengarkan kalimat itu tersenyum ke arah ku. “Kita mulai hari ini saja, bagaimana..?” aku tersenyum ke arah nya, sembari mengingat kembali kata – kata nya waktu itu yang hampir sama dengan apa yang baru saja di ucapkan nya.
“Mulai hari ini kita resmi jadi sepasang kekasih..? aku bertanya pada Aisyah yang tengah duduk di kursi roda nya. “bukan, mulai hari ini kita sepasang suami istri.” Ia menutup kalimatnya dan menggenggam tangan ku erat. “Aku tidak akan kalah oleh Amnesia Retrograde ini Bi..! hari ini kita sepasang suami istri.” Mendengar kalimat itu bulu kuduk ku merinding bukan karena ada makhluk tak kasat mata di sekitaran kami, tapi aku tidak percaya kata – kata itu keluar dari mulut Aisyah hari ini. “Tentu saja aku mau jadi suami mu Ai.” Ku pandangi wajah itu lama, aku bahkan tidak memperdulikan orang yang lalu lalang di sekitaran kami yang memang tidak banyak karena pandemi ini memukul sektor pariwisata sampai pada titik beberapa hotel tutup, rumah makan tutup, orang – orang bekerja di bidang jasa khusus nya pariwisata tidak sedikit yang dirumahkan bahkan di PHK dan itu artinya tempat – tempat wisata yang dulu nya ramai kini sepi hampir tak berpengunjung.
“Sudah memandangi nya, aku gak enak diliatin sama ibu yang jualan di ujung sana.” Ia menunjuk ke arah ibu yang berjualan jagung rebus di tepi jalan. Meski ia tahu tidak banyak pengunjung yang datang kesini, ia tetap berjualan. Sebagai rasa bersalah karena sudah mempertontonkan adegan bioskop 18 tahun ke atas meski hanya saling pandang dengan istri ku. Akhirnya aku dan Aisyah membeli kacang rebus ibu itu sekantong plastik besar dan berniat membawanya ke rumah sakit stroke tempat kami menetap dan membagi – bagi kan pada orang – orang yang ada di sana. Dari cerita ibu tadi, ia mau tidak mau harus tetap berjualan karena ada dua anak nya yang masih dalam tanggungan nya, setidak nya dengan berjualan ia masih bisa membantu suaminya membeli kebutuhan sehari – hari dari hasil berjualan, kalaupun jualan nya tidak laku setidak nya anak – anak nya tidak kelaparan karena ada jagung rebus yang bisa ia bawa pulang. Mendengar nya membuat siapa saja menjadi simpati dan terharu, tidak hanya para pengusaha yang saat ini mati – matian memperjuangkan bisnis nya agar tidak surut termakan pandemi, tapi ada ibu yang berjualan demi kebutuhan sehari – hari keluarganya yang tidak kalah mati – matian nya dengan pengusaha itu untuk bisa makan esok hari.
Sesampainya di rumah sakit, aku masih belum melihat Ita dan ayah nya, kamar mereka terkunci dari luar ada gembok yang tersemat di depan pintu kamar itu. “Bi, kemana Ita dan ayah nya pergi ya..? Aisyah rupanya juga sama penasaran nya dengan ku dimana keberadaan Ita dan ayah nya sejak kemarin sore. “Coba nanti aku tanya ke yang lain, apa dia pulang ke kampung nya..?” Aku menebak – nebak keberadaan Ita dan ayah nya. Tak lama dari itu aku mendapat kabar dari salah seorang keluarga pasien yang kamar nya bersebelahan dengan kamar Ita dan ayah nya, mengatakan jika Ita dan ayah nya memilih untuk kembali ke kampung nya dan tidak melanjutkan pengobatan disini, mereka lebih memilih pengobatan alternatif saja yang lebih murah. Mendengar nya aku seakan tidak percaya, di zaman yang serba canggih ini masih ada orang – orang yang mempercayai pengobatan alternatif padahal mengalami sakit medis. Mengapa Ita tidak memberitahu kami perihal keputusan keluarganya ini, seandainya ia bercerita mengenai hal itu mungkin aku dan Aisyah dapat memberikan penjelasan terkait perbedaan antara pengobatan medis dan alternatif yang mereka percayai.