Love In Revenge

Cindy Tanjaya
Chapter #3

2 : Kerja Sama

Jeffrey saat ini tengah berdiri didepan pintu ruangannya. Ia merasa enggan memasuki ruangannya kala mendengar kabar dari seorang Polisi Muda bahwa Komisaris sedang berada diruangannya. Walau begitu, cepat atau lambat ia akan menghadap atasannya itu. Dengan langkah berat, ia memasuki ruangannya. Dan benar saja, atasannya itu tengah berdiri sambil melipat kedua tangannya didepan dadanya. Mata cokelatnya menatap kearah jendela besar yang menembus kearah jalanan kota.

Mendengar pintu berderit, atasannya menoleh sekilas dan segera berbalik menghadap Jeffrey yang kini tengah menatapnya dengan tenang. Atasannya berjalan mendekati Jeffrey. Jeffrey mengangkat tangannya, memberi hormat.

“Hormat, Pak!” seru Jeffrey terdengar lantang, walau ia harus menahan mati-matian jantungnya yang kini berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya.

Komisaris itu tak bergeming. Hanya menatap Jeffrey dengan tatapan tajam. Jeffrey menelan ludahnya. Ia tahu, atasannya ini akan meluncurkan kalimat-kalimat tajam yang menyakitkan hatinya. Walau begitu, ia pantas menerimanya.

“Inspektur Calix meninggal di kediamannya kemarin,” ujar Komisaris Allan Gimbsons, yang akhirnya mengeluarkan suaranya. Suaranya terdengar sangat dingin. Jeffrey memilih diam saja. Memilih mendengarkan lebih lanjut kata-kata tajamnya.

“Dan aku mendapat kabar bahwa lagi-lagi pasukanmu tidak menemukan barang bukti apapun di TKP.” Lanjutnya lalu menghela napas.

“Selama ini tugas yang kuberikan padamu selalu berhasil dan menunjukkan dirimu layak mendapat pangkat seorang Inspektur dan orang kepercayaanku.” Allan menatap lurus-lurus Jeffrey yang kini masih berusaha menahan dirinya agar terkontrol dengan baik.

“Inspektur satu Jeffrey Anderson,” panggil Allan dengan nada tajam, membuat Jeffrey menatap mata cokelat Allan yang kini berkilat marah, “Apa tugas ini terlalu berat untukmu sampai-sampai kau tidak bisa menyelesaikannya?” Tanya Allan membuat Jeffrey mengepalkan kedua tangannya.

Keadaan hening sejenak. Baik Allan atau Jeffrey kini bersitatap tajam. Allan menarik napas dalam-dalam, kemudian memilih memalingkan wajah.

“Dengan terpaksa, aku akan menarikmu dari tugas ini.” ucap Allan membuat Jeffrey terkejut mendengarnya.

“A-apa?” ujar Jeffrey serasa tak percaya.

“Ya. Aku menarikmu dari tugas ini.” ujar Allan mengulang ucapannya.

“T-tapi Pak, aku masih bisa menangani kasus ini. Aku–”

“Hentikan!” potong Allan cepat dengan nada membentak, “Kau kira aku sanggup mendengar kabar kematian Perwira Polisi dan itu akibat sikap tidak bertanggung jawabmu?!” cerca Allan dengan emosi yang meluap-luap. Jeffrey mendesis geram. Mulutnya yang tadinya ingin berkata-kata, langsung ia tutup. Bermacam-macam umpatan ia ucapkan didalam hatinya.

Ingin sekali rasanya ia membalas ucapan Komisarisnya yang menurutnya tidak benar itu. Ia ingin berteriak marah tepat diwajah dingin atasannya itu. Dengan seenaknya memakinya dan mengatakan kematian para Perwira Polisi akibat dari perilaku tidak bertanggung jawabnya.

Siang dan malam ia habiskan untuk mencari informasi tentang pembunuh itu. Mengatur rencana-rencana agar berjalan baik. Namun tetap saja, ada celah yang membuat pembunuh itu bisa melancarkan aksinya. Atasannya hanya tidak tahu, seberapa berjuang dirinya dua tahun belakangan ini mencaritahu tentang pembunuh itu.

Jeffrey juga tak sanggup mendengar kabar kematian yang sudah terjadi lima kali dalam 2 tahun ini. Ia juga selalu menyalahkan dirinya saat mendengar kabar kematian Perwira Polisi yang tidak bersalah. Mungkin atasannya itu tidak tahu, seberapa pintar cara bermain pembunuh itu sampai tidak meninggalkan bekas apapun.

Dengan berani, ia menatap mata atasannya itu, “Jika itu keputusan anda, aku siap menerimanya.” Ujar Jeffrey lalu mengangkat tangannya memberi hormat. Allan tampak terkejut, namun ia kembali dengan wajah datarnya.

Tanpa bicara, Allan keluar dari ruangan Jeffrey. Meninggalkan Jeffrey yang kini diliputi dengan berbagai macam perasaan. Antara kesal, marah, kecewa dan sedih. Semua serasa bercampur aduk. Jeffrey menghela napas kasar.

“Semoga saja keputusanmu itu benar, Pak Komisaris terhormat.” Gumam Jeffrey lalu menjatuhkan dirinya pada kursi besarnya.

***

“Jadi kau dibebaskan dari tugas itu?” tanya George Hudson, sahabat Jeffrey sejak dimasa bangku sekolah. Setelah kejadian yang tidak mengenakkan itu, Jeffrey memutuskan untuk menemui George di ruangannya. Hanya George tempat baginya mencurahkan segala keresahan hatinya.

Lihat selengkapnya