"Kerja bagus anak-anak!" ujar Allan merasa senang. Ia menepuk pundak Jeffrey dan George berkali-kali.
"Kerja bagus, walau kalian membawanya dalam kondisi sudah menjadi mayat." ujar Allan kembali. Jeffrey mendengus kesal mendengarnya. Sementara George melirik tajam kearah Jeffrey.
"Akhirnya kasus ini terselesaikan. Aku sangat senang mendengarnya. Oh, terima kasih Tuhan !" ujar Allan terdengar sangat gembira.
"Umumkan ke pihak media massa, bahwa pembunuh misterius sudah tertangkap. Media pasti akan meliput ini selama berminggu-minggu." ujar Allan memerintah kepada George. George mengangkat tangan memberi hormat.
"Siap, Pak !" seru George lalu menjalankan perintah. Mata Allan terarah ke Jeffrey, lalu menatap luka sayatan yang cukup dalam pada lengan Jeffrey.
"Pergilah, bersihkan dirimu dan obati luka dilenganmu." ujar Allan lalu melenggang pergi meninggalkan Jeffrey. Jeffrey menarik napas sejenak, lantas kembali ke ruangannya.
***
Jeffrey menyuruh salah satu anak buahnya untuk mencari identitas dari pria itu. Ia sangat penasaran, apa tujuan dibalik tindakan membunuhnya selama ini.
Ia sangat yakin, ada sesuatu yang terjadi di masalalu yang membuatnya terus saja meneror kepolisian. Jika tidak, untuk apa ia repot-repot berurusan dengan pihak kepolisian dan berakhir dengan kematian?
Jeffrey menghela napas lega. Setidaknya, kasus yang ia pegang selama dua tahun ini terselesaikan. Dan entahlah. Mungkin Dewi Fortuna saat itu berada disisinya. Sehingga ia dengan mudah mendapatkan strategi semacam itu.
"Permisi, Pak. Ini berkas yang anda minta." ujar Polisi muda itu di ambang pintu. Jeffrey menatapnya, lalu mempersilahkannya masuk. Jeffrey menerima berkas itu, lalu menyuruhnya kembali ke tempatnya. Setelah kepergian Polisi muda itu, Jeffrey mulai membaca berkas yang diterimanya secara perlahan.
"Xander Theodore. Umur 25 tahun. Putra dari Joe Theodore dan Milley Hapson. Orang tuanya berpisah sejak ia kecil." Jeffrey terdiam saat mengetahui latar belakang kehidupannya.
Jeffrey tidak mampu menyalahkan Xander atas hal ini. Keluarga yang retak, yang hidupnya pasti tanpa kasih sayang membuatnya melakukan hal semacam ini. Tetapi tingkahnya itu terlalu berlebihan. Mengapa juga harus menghabisi beberapa Perwira Polisi lainnya? Jika memang ia membenci ayahnya yang merupakan seorang Polisi, mengapa tidak berniat untuk menghabisi ayahnya saja? Bukankah begitu?
Ini aneh. Baginya masih ada yang janggal. Tetapi, mau bagaimana lagi. Sang informan sudah menjadi mayat. Apa motifnya dan apa maksudnya ia bahkan belum mengetahuinya secara detail. Hanya samar-samar.
Suara ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Ia menyahut dari dalam, mempersilahkan masuk. Awalnya ia berniat untuk membaca berkas itu kembali. Namun, saat ia melihat George yang datang ke ruangannya, mengurungkan niatnya untuk melakukannya. Ia meletakkan berkas itu diatas meja kerjanya. Matanya menatap George datar. Masih terbesit rasa kesal teramat dalam di hatinya. Yang akhirnya ia memilih membuang pandangannya ke arah lain.
"Kau yakin mengizinkan aku masuk ke dalam?" tanya George saat melihat raut wajah jeffrey yang sepertinya tidak begitu suka dengan kehadirannya.
"Katakan saja apa yang kau mau. Aku tidak punya banyak waktu." ujar Jeffrey walau sepenuhnya tak berbohong. Sebagian dari perkataannya ingin agar pria itu cepat menyingkir dari pandangannya, sementara sebagian lagi ia memang sibuk ingin membaca lebih lanjut berkas yang diterimanya tadi.
"Aku hanya ingin meminta maaf." ujar George dengan nada menyesal. Jeffrey tampak terdiam, kemudian kembali menatap mata George.
"Yah, aku tahu, sikapku terlalu berlebihan. Karena kesalahanku itu, kita tidak dapat mengetahui apa motifnya ia melakukan hal semacam itu. Aku akui, itu semua kesalahanku. Jadi, aku minta maaf. Aku benar-benar menyesal." lanjutnya lalu menghela napas pelan. Jeffrey tak bergeming. Ia hanya menatapnya lurus.
"Dan perkara kau mau memaafkanku atau tidak, itu kembali padamu. Yang jelas, aku menyesal." ujarnya lagi lalu mengangkat tangan memberi hormat.
"Aku permisi dulu." ujarnya lalu berbalik dan hendak pergi.
"Apa aku menyuruhmu untuk keluar dari ruanganku?" Ucap Jeffrey setelah diam beberapa lama. George terdiam, lalu kembali menghadap Jeffrey.
Jeffrey menarik napas dalam-dalam,"Aku akui, aku sangat jengkel denganmu. Dan tindakanmu memang tak sepenuhnya salah. Kau berniat untuk menolongku, tetapi cara yang kau lakukan itu yang salah." ujar Jeffrey lalu menghela napas panjang.
"Apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya lagi. Tetapi lain kali, ingat siapa dirimu. Apakah kau mau kusamakan dengan mereka?" ujar Jeffrey memberi nasihat. George menunduk dalam-dalam. Ia benar-benar terlihat menyesal.