Jeffrey menghembus napas lelah. Ia barusaja menghadiri acara pers conference para wartawan karena atasannya itu menyuruhnya untuk menggantikannya berbicara. Entah apa yang menyebabkan atasannya itu menyerahkan tugasnya itu kepadanya.
Matanya melirik kearah jam tangannya. Jam dua sore. Masih beberapa jam lagi ia kembali ke rumah. Tubuhnya benar-benar lelah sekali. Seharian ini, ia disibukkan dengan kegiatan luar ruangan.
Ditambah dengan pertanyaan salah satu wartawan yang cukup mengganggu pikirannya.
"Apakah menurut bapak kasus ini benar-benar selesai? Maksudku, apakah tidak ada serangan balik yang mungkin terjadi?"
"Apa mungkin ada serangan balik?" gumamnya pelan. Pikirannya mulai bekerja kembali.
Jika benar ada serangan balik, ini pasti sangat beresiko. Terutama, pada Perwira Polisi yang masih aktif dan yang juga sudah pensiun. Kali ini, dia harus melakukan penjagaan ketat. Dan terkhusus dirinya. Dia sangat yakin, dirinya sekarang menjadi incaran baru. Yah, jika itu benar ada serangan balik. Jika tidak, dia benar-benar bisa bernapas lega. Setidaknya, tidak ada lagi Perwira Polisi yang kehilangan nyawanya akibat pembunuh misterius itu. Dan untuk menjawab keraguannya ini, dia harus melakukan satu hal.
Membicarakannya pada teman gilanya itu.
***
Jeffrey melangkahkan kakinya menuju keruangan George. Ia hendak membicarakan perihal pertanyaan wartawan yang cukup mengusik pemikirannya. Dan, ia membutuhkan teman cerita.
"Aku tahu itu kesalahanku! Ya! Aku minta maaf! Berhentilah memakiku dengan kata bodoh!"
Jeffrey mengernyit saat mendengar amukan George. Mengapa temannya itu marah? Jeffrey tidak pernah mendengar George semarah itu. Segera, ia memasuki ruangan itu. George terlihat kaget.
"Akan kuhubungi lagi nanti." ujarnya lalu memutuskan telfon sepihak. George memberikan senyuman kikuknya.
"Kau ke ruanganku? Ada apa?" tanya George terlihat berusaha santai. Jeffrey duduk dihadapannya.
"Siapa yang menelfon? Kau terdengar marah-marah bahkan aku mampu mendengar teriakanmu tadi." ujar Jeffrey membuat George semakin gugup.
"A-apa yang kau dengar?" tanya George sambil mengusap keringat yang mengucur di dahinya.
"Hanya amukanmu yang tidak jelas. Ada apa? Kau terlihat gugup." ujar Jeffrey mulai terbesit rasa curiga dihatinya.
"Ah, tidak apa-apa. Itu t-tadi ibuku." ujar George terlihat gugup. Jeffrey menaikkan satu alisnya.
"Kau yakin itu ibumu? Jika memang benar itu ibumu, lantas mengapa kau terdengar sangat marah tadi ?" tanya Jeffrey lagi.
"Ah, ibuku memaksaku untuk cepat menikah." ujar George lalu menghela napas pelan.
"Oh, begitu." ujar Jeffrey lalu mengangguk, walau rasa curiga semakin menjadi didalam hatinya.
"Lalu, apa yang membawamu kemari ? Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan kepadaku ?" tanya George seolah ingin mengganti topik pembicaraan.
"Ah, aku hampir saja lupa," sambil mengatur duduknya agar lebih nyaman,"apa kau melihat aku tadi di televisi?" tanya Jeffrey membuat George menggeleng menjawabnya.
"Ibuku menelfon disaat kau sedang melakukan pers conference. Jadi, aku tidak menyaksikanmu tadi." ujar George menjawab.
"Saat aku sedang melakukan pers conference, banyak wartawan yang mulai bertanya-tanya. Namun, ada satu pertanyaan yang mengganggu pemikiranku." ujar Jeffrey membuat George menatapnya penasaran.
"Apa itu?" tanya George.