Love In Revenge

Cindy Tanjaya
Chapter #16

15 : Pengakuan Seorang George

Jeffrey mendecih, lantas menatap wanita dihadapannya dengan tajam. Kedua tangannya yang tengah diikat dengan tali tampak terkepal erat, serasa ingin sekali mencekik leher wanita itu. Ia tak peduli lagi dengan posisinya. Baginya, semua ini sudah kelewatan sekali. Drama yang luar biasa dimainkan wanita ini dengan sangat baik, cukup membuatnya percaya dan sialnya membuatnya jatuh cinta.

“Ada apa sayang? Kau marah?” ujar Chellia sambil menyentuh rahang Jeffrey, membuat Jeffrey segera menghindari sentuhan itu. Chellia mendengus, lalu membungkukkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Jeffrey. Mata cokelat Jeffrey dan mata biru laut Chellia saling beradu.

“Mengapa kau melakukan semua ini, Chel?” Tanya Jeffrey dengan dinginnya. Chellia memutar kedua bola matanya keatas, bersikap seolah sedang berpikir. Chellia menegakkan tubuhnya, lalu tersenyum kearah Jeffrey.

“Jawabannya sederhana. Aku ingin membalas dendam.” Jawab Chellia santai. Dan kini, kesabaran Jeffrey habis sudah.

“Dendam? Dendam apa yang kau maksudkan?!” Sentak Jeffrey dengan nada tinggi. Chellia tampak meringis, lalu mengusap telinganya.

“Astaga, sayang. Suaramu itu benar-benar keras sekali. Kau ingin merusak gendang telingaku, huh?” ujar Chellia masih mengusap telinganya yang berdengung. Chellia menghela napas panjang, lalu menatap berani mata cokelat Jeffrey. Membuat Jeffrey yang melihatnya terkesiap.

"Dendam seorang anak yang ditinggal mati oleh ayahnya karena pembunuhan yang terjadi tepat didepan matanya. Dendam seorang anak yang merasa dihantui setiap malam akan tragedi pembunuhan itu." Chellia mengatakan deretan kalimat itu dengan sorotan mata benci. Chellia tampak tersenyum miring.

“Ayahku, Philips Hornby meninggal karena ditembak mati oleh atasanmu, Komisaris Allan Gimbsons.” Lanjutnya membuat Jeffrey yang mendengarnya terpaku ditempat.

"10 tahun yang lalu. Kejadian itu berlangsung tepat didepan mataku." Ucap Chellia dengan mata yang memerah.

*Flashback On*

Saat itu, Chellia berusia 10 tahun. Ditengah malam, ia mendengar teriakan kemarahan ayahnya, Philips Hornby. Chellia dengan boneka teddy bear dipelukannya melangkah keluar dari kamarnya. Chellia mengusap matanya sambil berusaha mengumpulkan nyawanya kembali.

"Keluarlah dari rumahku!" Chellia yang mendengar teriakan ayahnya bersembunyi dibalik dinding. Mata biru lautnya menatap ayahnya dan seorang laki-laki berseragam Polisi tengah bertengkar. Chellia dapat melihat sorot mata keduanya tampak menunjukkan interaksi tak suka.

"Jangan berteriak padaku." Ujar lelaki berseragam Polisi itu dengan dinginnya. Philips mendecih pelan.

"Aku berhak berteriak karena kau datang diwaktu yang tidak tepat. Sekarang pergilah. Pembicaraan kita sudah selesai. Tak perlu ada hal lain yang kita bicarakan." Ujar Philips dengan dingin.

"Baiklah, aku akan pergi." Lelaki berseragam Polisi itu tampak mundur, kemudian tanpa disangka mengeluarkan pistol dan menodongkannya pada Philips. Chellia yang melihatnya tampak terkejut.

"Allan, jangan biarkan kebencian menguasai hatimu. Aku-"

"Persetan dengan itu semua! Sekarang kau matilah!" Seru Allan lalu menumpahkan pelurunya. Perlahan, tubuh Philips ambruk dan darah mulai mengotori lantai berkeramik itu.

"Ayah ..." lirihnya pelan. Tangannya bergetar hebat. Boneka teddy bear yang berada dipelukannya jatuh ke lantai. Mata Biru Lautnya tampak memerah melihat pemandangan dihadapannya.

Allan tampak panik, kemudian meninggalkan tubuh Philips yang bersimbah darah di lantai. Chellia berlari menghampiri ayahnya yang kini tampak kesulitan bernapas. Tangan mungil Chellia berusaha menutupi luka tembakan ayahnya. Namun sia-sia. Darah itu tetap keluar dari sela-sela jari mungilnya.

Ayahnya memegang tangan mungil Chellia yang kini bersimbah darah. Chellia menatap ayahnya dengan airmata yang sudah membasahi pipinya.

"Chellia," Panggil Philips dengan napas tersengal-sengal,"maafkan ayah ... yang tidak bisa ... menjagamu lagi." Chellia menggeleng kuat.

"Ayah akan baik-baik saja! Ayah akan selamat!" seru Chellia sambil menangis. Philips tersenyum lemah. Wajah Philips tampak mulai memucat.

"Jadilah anak yang baik. Tentang kejadian ini ..." Philips merintih kesakitan,"lupakan saja jika ... pernah terjadi. Jangan menjadi ... anak yang pendendam." Ujar Philips kemudian berusaha menarik napas agar bisa berbicara lebih lama dengan putri semata wayangnya itu.

Lihat selengkapnya